Every issue needs storytelling,
......juga untuk urusan energi. Sangatlah sulit bagi kita membayangkan mengapa kita perlu pembangkit listrik tenaga surya, mengapa kita harus menggalakkan pembangunan infrastruktur reaktor biogas, mengapa kita harus banyak-banyak berhemat energi. We can't relate. Kita ini hidup mewah, punya akses energi yang cukup dan bisa diandalkan, bisa menikmati segala kemajuan yang menyertainya. Bagaimana kita bisa kritis terhadap isu energi dan berempati pada mereka yang belum mendapatkan akses energi?
Cerita adalah jalannya. Isu energi yang sangat teknis ini perlu cara penyampaian yang bisa 'menggerakkan', tak hanya menyentuh. Empati bisa terbangun bila kita bisa merasakan dan membayangkan, dan kepedulian bisa tumbuh dari empati yang menemukan aksi. Tantangannya tentu saja bagaimana mengemas hal-hal membosankan tadi menjadi sesuatu yang menarik tanpa kehilangan esensi dan tanpa adanya kesalahan fakta, aka jangan mengurangi dan jangan pula lebay.
Pernah menonton film dokumenter An Inconvenient Truth? Film ini merupakan contoh bagus bagaimana kita bisa "bercerita" mengenai dampak penggunaan energi kita pada iklim global. Segi positifnya, film ini merupakan dokumentasi yang cukup informatif dan membukakan mata mengenai perubahan iklim, sebab, dan dampaknya. Kurang baiknya, film ini bermain di area "ketakutan". Mirip seperti model teroris, ketakutan itu menciptakan efek besar dan jangka panjang, bisa menarik perhatian dalam waktu singkat; namun biasanya (biasanya ya) efek itu tak bertahan lama. Model bercerita dengan "ketakutan" ini pula yang disajikan oleh Daniel Wallace-Wells dengan artikelnya yang fenomenal di New York Magazine: The Unhabitable Earth (dari judulnya aja udah mengerikan, ceunah). Jika dua contoh besar ini bisa membuat kita berhenti sejenak dan memikirkan mengenai perubahan iklim, energi terbarukan, dan teman-temannya; jangan-jangan kita harus ditakut-takuti dahulu untuk peduli?
Di tengah sedikitnya cerita dan pencerita energi, saya sungguh tersentuh dengan "Terang di Desa Ampas" ini. Sudut penceritaannya bagus, dengan sinematografi yang tak kalah apik. Kudos untuk Pak Jokowi dan Kementerian ESDM.
Tentu satu cerita dan hanya cerita tak cukup. Kita perlu lebih banyak cerita, lebih banyak pencapaian, dan lebih banyak kontribusi untuk bisa mengulang senyuman anak-anak Ampas di banyak titik lain di Indonesia.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H