Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Isu yang Nggak Seksi

30 Agustus 2017   19:13 Diperbarui: 30 Agustus 2017   20:15 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ursula Sladek (kredit foto: Goldman Prize)
Ursula Sladek (kredit foto: Goldman Prize)
Bisa jadi kita merasa tak perlu tahu bagaimana Ursula memperjuangkan anak-anaknya, atau potensi energi terbarukan apa yang menjadi fokus perjuangannya, atau berapa banyak kegagalan yang dihadapinya sebelum bisa meraih cita-citanya. Namun bisakah kita membayangkan perasaan Ursula di pagi hari yang kelam itu? Bisakah kita menyadari kekhawatirannya? Dan bisakah kita mengerti alasan perjuangannya?

Every issue needs storytelling,

......juga untuk urusan energi. Sangatlah sulit bagi kita membayangkan mengapa kita perlu pembangkit listrik tenaga surya, mengapa kita harus menggalakkan pembangunan infrastruktur reaktor biogas, mengapa kita harus banyak-banyak berhemat energi. We can't relate. Kita ini hidup mewah, punya akses energi yang cukup dan bisa diandalkan, bisa menikmati segala kemajuan yang menyertainya. Bagaimana kita bisa kritis terhadap isu energi dan berempati pada mereka yang belum mendapatkan akses energi?

Cerita adalah jalannya. Isu energi yang sangat teknis ini perlu cara penyampaian yang bisa 'menggerakkan', tak hanya menyentuh. Empati bisa terbangun bila kita bisa merasakan dan membayangkan, dan kepedulian bisa tumbuh dari empati yang menemukan aksi. Tantangannya tentu saja bagaimana mengemas hal-hal membosankan tadi menjadi sesuatu yang menarik tanpa kehilangan esensi dan tanpa adanya kesalahan fakta, aka jangan mengurangi dan jangan pula lebay.

Pernah menonton film dokumenter An Inconvenient Truth? Film ini merupakan contoh bagus bagaimana kita bisa "bercerita" mengenai dampak penggunaan energi kita pada iklim global. Segi positifnya, film ini merupakan dokumentasi yang cukup informatif dan membukakan mata mengenai perubahan iklim, sebab, dan dampaknya. Kurang baiknya, film ini bermain di area "ketakutan". Mirip seperti model teroris, ketakutan itu menciptakan efek besar dan jangka panjang, bisa menarik perhatian dalam waktu singkat; namun biasanya (biasanya ya) efek itu tak bertahan lama. Model bercerita dengan "ketakutan" ini pula yang disajikan oleh Daniel Wallace-Wells dengan artikelnya yang fenomenal di New York Magazine: The Unhabitable Earth (dari judulnya aja udah mengerikan, ceunah). Jika dua contoh besar ini bisa membuat kita berhenti sejenak dan memikirkan mengenai perubahan iklim, energi terbarukan, dan teman-temannya; jangan-jangan kita harus ditakut-takuti dahulu untuk peduli?

yy-59a6ab4254610c185a7424b2.jpg
yy-59a6ab4254610c185a7424b2.jpg
Di sinilah peran cerita dan penceritanya diuji. Cerita Ursula Sladek bagi saya merupakan cerita yang hampir ideal: bukan hanya tentang ketakutan, juga tentang perjuangan dan solusi. Cerita sedih memang membuat kita lebih mudah berempati, mungkin benar kata orang bahwa manusia itu susah melihat orang lain senang. Namun optimisme itu perlu terus dibangun untuk melanggengkan empati yang sudah terbangun dan mendorongnya menjadi aksi. Ini yang saya lihat kemudian "dikoreksi" dalam film lanjutan An Inconvenient Truth (An Inconvenient Sequel: Truth to Power). Cerita yang disajikan tak hanya mengenai dampak mengerikan perubahan iklim, juga soal lebih maju dan murahnya teknologi energi terbarukan hingga kesepakatan global untuk mengurangi emisi. Film ini menceritakan solusi.

Di tengah sedikitnya cerita dan pencerita energi, saya sungguh tersentuh dengan "Terang di Desa Ampas" ini. Sudut penceritaannya bagus, dengan sinematografi yang tak kalah apik. Kudos untuk Pak Jokowi dan Kementerian ESDM.


Tentu satu cerita dan hanya cerita tak cukup. Kita perlu lebih banyak cerita, lebih banyak pencapaian, dan lebih banyak kontribusi untuk bisa mengulang senyuman anak-anak Ampas di banyak titik lain di Indonesia.

Salam hangat,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun