Dalam sebuah pertemuan mingguan antara mahasiswa-mahasiswi bimbingan dengan pembimbing saya (yang biasa disebut dengan lab meeting), pembimbing saya mengatakan begini,
“Kalian itu ya, kalau berkomentar atau menyanggah ya harus mencerminkan kalau kalian sedang ada di lab meeting, bukan ongkang-ongkang di warung kopi”.
Dalam bahasa Inggris, tentu.
Maksud beliau tentu jelas, bahwasanya ketika berada dalam kondisi serius seperti lab meeting, cara kita mengungkapkan pendapat, baik itu menyetujui atau menyanggah ya tentu saja harus mencerminkan bahwa kita mahasiswa pascasarjana, yang sedang mengadakan lab meeting. Secara singkat, harus profesional. Tidak sekedar setuju, katakan alasannya; tidak juga asal menyanggah tanpa latar belakang dan data pendukung.
Sisi negatif dari banjirnya arus informasi dan keterbukaan untuk mengungkapkan pendapat secara bebas adalah perilaku “semau gue”, yang bisa disebabkan oleh banyak faktor, misalnya tidak mengetahui tentang etika dan aturan yang berlaku, terbawa emosi, atau memang orangnya yang menyebalkan dan mau cari masalah. Dengan akses ke media dalam berbagai bentuk yang semakin mudah, tanpa adanya prinsip dan karakter dasar yang bisa mengimbangi kebebasan pola pikir, banyak dari kita yang berpendapat bahwa semakin banyak informasi yang kita tahu, semakin kita bisa jumawa. Bukannya merunduk seperti padi. Apalagi yang hanya asal tahu dan tidak memiliki kepedulian pada sopan santun mengungkapkan pendapat.
Ketika berbeda pendapat, dan kita dihadapkan satu dengan yang lain untuk berdebat (ijinkan saya memakai kata ini dan bukan diskusi yang kesannya lebih halus), bagaimana kita memposisikan diri sebagai seorang pendebat yang baik?
Saya termasuk beruntung, karena saya diajari tentang bagaimana caranya berdebat dengan baik.
Semasa SMA, salah satu kegiatan ekstrakurikuler mingguan wajib adalah sidang akademi. Namanya memang serius, dan tujuan utamanya adalah untuk melatih kemampuan public speaking. Setiap minggunya, ada satu grup yang terpilih menjadi presentator, pembahas tertunjuk, dan moderator. Grup presentator, sesuai namanya, bertugas untuk mempresentasikan makalah sesuai tema. Moderator tugasnya mengatur jalannya sidang. Tugas favorit saya adalah ketika menjadi pembahas tertunjuk. Singkat cerita, tugas dari pembahas tertunjuk ini adalah untuk menganalisa makalah presentator dan mengajukan pertanyaan kepada mereka. Tentu saja dalam posisi seperti ini, yang namanya beda pendapat itu sebuah keniscayaan. Dalam sidang akademi, saya diajari untuk mendalami masalah, memahami latar belakang persoalan yang dikemukakan, lalu menyanggah, menanyakan, atau mengungkapkan pendapat saya, tentu dalam koridor penyampaian formal. Tidak hanya asal bertanya, tidak hanya asal menyanggah, dan semuanya dilakukan secara terbuka. One to one.
Dari sana saya belajar tentang bagaimana caranya menyampaikan pendapat dengan tatanan yang semestinya. Sopan, diawali dengan uraian masalah secara singkat, jika memungkinkan, lalu baru ke sanggahan. Sidang akademi juga mengajarkan saya untuk bersikap agree to disagree, bahwa ketika perbedaan pendapat yang ada tidak cukup untuk didiskusikan pada durasi waktu yang ada, mau tidak mau harus diakhiri.
Kalau dalam sidang akademi batasan setuju dan tidak setuju akan suatu tema masih sering kabur, saya belajar mengenai hitam putih beda pendapat lewat klub Bahasa Inggris. Salah satu agendanya adalah simulasi debat parlemen, dan yang kami gunakan waktu itu adalah debat parlemen Australasia. Singkatnya, dalam debat parlemen Australasia, ada dua tim: affirmative dan negative. Topik yang diangkat dituliskan dalam bentuk penyataan, misalnya this House supports the elimination of English subject in elementary school. Sesuai dengan nama timnya, satu tim akan membeberkan argumen mengapa mereka setuju (tim affirmative), dan tim kedua akan membeberkan argumen mengapa mereka tidak setuju (tim negative). Setiap tim terdiri dari 3 orang, dengan kesempatan untuk berbicara didasarkan pada urutan: pembicara pertama tim affirmative, pembicara pertama tim negative, pembicara kedua tim affirmative, dan seterusnya.
Karena topiknya yang dibatasi antara setuju dan tidak setuju dengan satu pernyataan, case building atau pengumpulan latar belakang, contoh, atau aplikasi menjadi lebih mengerucut dan biasanya lebih mudah karena batasannya tidak kabur. Meski begitu, karena sifatnya yang hitam dan putih, argumen balasan yang disampaikan oleh pembicara haruslah tepat sasaran. Ketika pembicara pertama tim affirmative mengemukakan satu hal, pembicara pertama tim negative yang ingin melakukan argumen balasan harus dengan segera menyiapkan pendapat berbeda yang menyerang langsung, tidak dengan menggunakan area abu-abu. Ini bisa langsung mematikan kasus yang dibangun oleh tim affirmative bila tim negative mampu ‘menendang’ dengan tepat (atau sebaliknya), sehingga tim harus memiliki kasus yang memiliki data komprehensif, bila satu titik mati, titik lain harus segera diajukan.
Debat parlemen Australasia ini mengajarkan saya untuk belajar mengenai satu kasus sebelum beropini. Ibaratnya sebuah rumah, bagaimana bisa memasang atap kalau pondasi saja belum beres. Bagaimana bisa menggempur argumen lawan jika argumen sendiri saja belum kuat. Kedua, fokus pada topik yang diperdebatkan dan bukan yang lain. Sering kita menjumpai sebuah perdebatan yang akhirnya berujung pada saling ejek karakter atau fisik. Itu meleset namanya. Saya menulis tentang buka puasa, kok ujung-ujungnya dibilang muka saya seperti ikan tombro (ngomong-ngomong, ikan yang bagaimana sih itu?). Lebih lagi, saya juga belajar mengenai menerima kekalahan. Pada akhirnya, akan ada tim adjudicator yang menilai, mana tim yang lebih kuat dalam menyampaikan argumen mereka. Dua tim sudah membeberkan kasus mereka dengan baik, secara logis, dengan aturan, dan ketika pada akhirnya ada yang kalah, ya diterima dengan lapang dada.
Mungkin ada baiknya sidang akademi atau debat parlemen yang dulu saya ikuti dijadikan ekstrakurikuler untuk sekolah-sekolah. Setidaknya sedari muda kita belajar untuk menyampaikan pendapat dalam tatanan yang pas.
Berbeda itu biasa. Sikap kita pada perbedaan itulah yang membuat kita luar biasa. Saya, tentu saja, masih harus belajar banyak.
XOXO,
-Citra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI