Mohon tunggu...
Citra Indah Pratiwi
Citra Indah Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jurusan Administrasi Publik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buzzer Politik: Ketika Demokrasi Diserahkan ke Mesin Narasi

21 Juni 2025   01:40 Diperbarui: 21 Juni 2025   01:36 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang dan sesudah Pemilu 2024, fenomena buzzer politik kembali menjadi sorotan tajam dalam lanskap sistem politik Indonesia. Buzzer yang dulunya hanya dikenal sebagai alat pemasaran digital kini menjelma menjadi aktor penting dalam pembentukan opini publik, bahkan mampu menentukan arah wacana politik nasional. Dengan jumlah pengguna aktif media sosial mencapai 191 juta orang atau sekitar 70% dari total penduduk (We Are Social, 2024), Indonesia telah menjadi ladang subur bagi propaganda digital yang terorganisir. Di balik layar, mereka bekerja secara sistematis melalui "squad system" atau pasukan siber, membentuk tren, menggiring narasi, dan sering kali menjatuhkan lawan politik melalui cara-cara yang tidak transparan. Ironisnya, hal ini justru terjadi di ruang yang seharusnya menjadi simbol keterbukaan dan kebebasan berpendapat: media sosial. Fenomena ini menimbulkan paradoks besar dalam demokrasi digital kita. Di satu sisi, buzzer mampu meningkatkan partisipasi politik, terutama di kalangan muda yang cenderung lebih aktif di dunia maya. Namun di sisi lain, partisipasi yang dibangun bukan berdasarkan kesadaran, melainkan hasil manipulasi algoritma dan modal politik. Demokrasi pun berubah menjadi komoditas: siapa yang paling banyak membayar, dialah yang menguasai narasi.
Penelitian dari SAFEnet dan Tirto (2023) menunjukkan bahwa ratusan akun buzzer terorganisasi secara profesional untuk melancarkan kampanye politik yang kerap kali mengandung hoaks dan ujaran kebencian. Lebih dari sekadar opini pribadi, konten-konten tersebut adalah hasil konstruksi sistematis yang bertujuan memengaruhi persepsi publik dengan cara yang tidak etis. Sayangnya, regulasi seperti UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU ITE belum mampu menjangkau kompleksitas fenomena ini. Teknologi digital berkembang jauh lebih cepat dibanding perangkat hukumnya. Penegakan hukum pun kerap kesulitan mengidentifikasi aktor sebenarnya di balik akun anonim dan ghost trending. Tanpa kerangka regulasi yang progresif dan transparan, serta kolaborasi serius antara pemerintah dan platform media sosial, fenomena buzzer akan terus menjadi alat kekuasaan yang menggerus nilai-nilai demokrasi.

 Di sisi lain, rendahnya literasi digital di masyarakat membuat narasi buzzer diterima tanpa pertimbangan kritis. Ini adalah kondisi yang mengkhawatirkan, di mana opini publik dapat dengan mudah dibentuk bukan oleh kesadaran warga negara, tetapi oleh kepentingan elite politik. Namun, kita juga tidak bisa hanya menyalahkan buzzer tanpa membongkar akar struktural dari fenomena ini. Ketimpangan akses terhadap media arus utama, minimnya ruang partisipasi politik yang inklusif, dan budaya politik transaksional membuat media sosial menjadi satu-satunya arena 'merakyat' yang tersedia.
Di sinilah para buzzer masuk, mengisi celah antara elite dan rakyat, namun dengan cara yang tidak selalu sehat. Mereka memanfaatkan algoritma, emosi publik, dan kecepatan viralitas untuk menggiring persepsi, bukan dialog. Alhasil, perdebatan publik berubah menjadi ajang polarisasi, bukan pertukaran gagasan. Demokrasi digital pun makin kehilangan ruh deliberatifnya. Ke depan, ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, pemerintah harus memperbarui regulasi digital secara adaptif dan kolaboratif dengan komunitas sipil dan pakar teknologi. Tanpa itu, kita hanya akan terus tertinggal oleh taktik-taktik digital baru yang digunakan oleh buzzer politik. Kedua, platform media sosial harus diajak bertanggung jawab. Mereka tidak bisa terus berdalih netralitas sambil membiarkan algoritma mereka dipakai untuk kepentingan politik praktis. Ketiga, pendidikan literasi digital harus dimasukkan ke dalam kurikulum dan kampanye publik secara serius bukan hanya ceramah moral, tetapi pelatihan praktis untuk mendeteksi manipulasi digital. Tentu, peran mahasiswa di tengah isu ini sangat strategis.
Sebagai generasi digital native sekaligus agen perubahan, mahasiswa memiliki potensi besar untuk melawan arus narasi manipulatif. Dimulai dari hal kecil: membagikan informasi yang kredibel, mengedukasi lingkungan sekitar, dan tidak mudah terpancing provokasi. Perlawanan terhadap dominasi buzzer bukan hanya soal politik, tapi soal masa depan sistem demokrasi kita. Jika media sosial kita terus dikuasai oleh suara-suara bayaran, maka ruang demokrasi yang kita miliki akan semakin sempit. Inilah saatnya kita merebut kembali ruang digital untuk kebenaran, bukan kepentingan politik belaka. Lebih jauh lagi, fenomena buzzer politik menunjukkan bahwa demokrasi kita belum cukup kuat untuk berdiri di atas argumen dan logika. Maka, mengkritisi buzzer bukan sekadar soal etika berkomunikasi politik, tetapi bagian dari perjuangan menjaga kualitas demokrasi itu sendiri. Penting juga untuk memahami bahwa tidak semua penggunaan media sosial oleh aktor politik adalah bentuk manipulasi.

Ada juga konten politik yang edukatif, inspiratif, dan mendorong partisipasi aktif. Yang membedakan adalah niat, transparansi, dan integritas. Seorang politisi yang hadir di media sosial untuk membangun dialog dengan pemilih tentu berbeda dengan akun anonim yang hanya menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian. Maka dari itu, literasi politik harus dibangun seiring literasi digital agar masyarakat mampu membedakan antara komunikasi politik yang sehat dengan propaganda yang menyesatkan. Sebagai penutup, penting bagi kita terutama mahasiswa untuk tidak lelah menjaga nalar publik. Buzzer bisa membanjiri ruang digital, tapi tidak bisa mengendalikan pikiran kritis jika kita tetap mengasahnya.
Mari kita jadikan media sosial sebagai ruang perlawanan yang cerdas, bukan ladang perang yang penuh kebisingan. Dengan bersuara secara sadar, berbagi secara etis, dan berpikir secara mandiri, kita turut serta menjaga demokrasi Indonesia agar tidak direbut oleh algoritma dan kepentingan elite semata. Demokrasi digital seharusnya bukan hanya milik yang punya modal, tapi milik semua warga negara yang peduli. Namun di tengah kompleksitas tersebut, tidak sedikit yang melihat bahwa peluang untuk mengembalikan marwah demokrasi digital tetap terbuka lebar. Salah satu titik masuknya adalah melalui reformasi budaya politik itu sendiri. Budaya politik kita saat ini masih sangat berorientasi pada patronase dan kultus individu.
Para pemilih lebih sering terjebak pada pesona personal kandidat dibandingkan dengan substansi gagasan dan program. Hal ini diperparah dengan hadirnya buzzer politik yang semakin menyederhanakan wacana menjadi soal 'siapa yang paling populer' di jagat maya. Padahal, demokrasi tidak semestinya berjalan di atas popularitas yang dibentuk secara artifisial, melainkan pada kualitas pilihan yang lahir dari deliberasi rasional dan keterbukaan informasi. Reformasi budaya politik bukan pekerjaan instan. Ia menuntut kesadaran kolektif, pendidikan politik berkelanjutan, serta keteladanan dari para elite.

Di ruang-ruang ini, kita bisa menghidupkan kembali semangat demokrasi deliberatif demokrasi yang menghargai argumen, keterbukaan, dan pencarian solusi kolektif. Membangun komunitas yang terbiasa berpikir kritis jauh lebih tahan terhadap intervensi buzzer daripada sekadar memberikan imbauan moral sesaat. Tak kalah penting adalah peran media. Di tengah runtuhnya kepercayaan terhadap media arus utama akibat komersialisasi dan polarisasi, media alternatif berbasis jurnalisme warga (citizen journalism) bisa menjadi angin segar. Ketika narasi dari atas terlalu berat sebelah atau sudah tercemar buzzer, maka narasi dari bawah menjadi vital.
 Liputan mendalam, investigasi independen, serta cerita dari komunitas bisa menjadi tandingan atas propaganda digital yang dangkal. Tentu saja, media alternatif juga harus menjaga etikanya dan tidak ikut larut dalam perang narasi tanpa integritas. Keseimbangan, verifikasi data, dan keberpihakan pada publik harus menjadi prinsip utama. Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa belajar dari negara-negara lain yang telah menghadapi masalah serupa. Di Taiwan misalnya, pemerintah bekerja sama dengan platform media sosial dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun sistem verifikasi informasi yang cepat dan berbasis komunitas.
Mereka mengembangkan aplikasi dan kanal pelaporan hoaks yang aktif, yang memungkinkan warga ikut serta dalam membongkar narasi palsu secara kolektif. Pendekatan ini bukan hanya menekan penyebaran disinformasi, tetapi juga memperkuat rasa tanggung jawab digital warga negara. Di sisi lain, negara seperti Jerman mengatur dengan sangat tegas soal ujaran kebencian dan disinformasi di media sosial. Platform digital bisa dikenakan sanksi finansial jika gagal menghapus konten berbahaya dalam batas waktu tertentu. Undang-undang NetzDG (Network Enforcement Act) adalah salah satu contoh bagaimana regulasi bisa menjadi alat yang efektif jika dirancang secara adil, transparan, dan ditegakkan dengan konsisten. Indonesia bisa mengadopsi prinsip-prinsip serupa, tentu dengan penyesuaian terhadap konteks politik dan sosial kita. Namun demikian, perlu diingat bahwa regulasi saja tidak cukup. Tanpa kapasitas kelembagaan yang memadai, regulasi hanya akan menjadi teks kosong.
Oleh karena itu, reformasi kelembagaan juga harus menjadi prioritas. Badan pengawas pemilu, kementerian komunikasi, dan lembaga penegak hukum harus diperlengkapi dengan teknologi yang mumpuni dan sumber daya manusia yang memahami dinamika ruang digital. Pelatihan forensik digital, kolaborasi dengan ahli IT independen, serta sistem pelaporan publik yang transparan bisa memperkuat pengawasan terhadap aktivitas buzzer yang melanggar hukum. Demokrasi tidak bisa tumbuh jika warganya sendiri tidak bersedia menjaga kualitas ruang publik, termasuk ruang digital. Dalam konteks mahasiswa, langkah konkret bisa diambil melalui kegiatan kampus seperti diskusi terbuka, pelatihan literasi digital, serta kolaborasi dengan organisasi mahasiswa untuk memantau narasi politik menjelang pemilu.

Mahasiswa bisa menjadi watchdog yang kritis terhadap narasi digital yang berkembang, serta menjadi produsen konten alternatif yang lebih substantif. Dengan menguasai teknologi dan memahami politik, mahasiswa bisa menjadi pengimbang terhadap dominasi buzzer politik yang oportunis. Kampus juga bisa bekerja sama dengan lembaga independen seperti Komnas HAM, KPU, Bawaslu, hingga komunitas fact-checker seperti Mafindo untuk menyelenggarakan program pengawasan pemilu berbasis digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun