Mohon tunggu...
Citra Arum
Citra Arum Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

(FFA) “Kartini Tak Pernah Ingkar Janji”

20 Oktober 2013   21:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Citra Arum

No: 280

JALAN Tika seperti sedang menghitung kerikil-kerikil di jalan yang dilalui. Kerap merunduk, dan pelan sekali. Sesekali, ia mengaduh kalau sandal bertumit tingginya oleng karena tidak tepat menjejak tanah.

“Aduuuh Mama …!” serunya untuk kesekian kali, saat terpeleset. Dan ia dengan sigap memegang bahu Siti yang berjalan dengan enaknya.Agar tidak jatuh ke tanah. “Tak terbayangkan kalau aku jatuh,” desisnya.

“Tapi jatuh kan ke bawah. Nggak apalah,” celetuk Siti.

“Kamu nih, senang ya kalau aku sampai jatuh?”

Siti teman sekelasnya di SD Pungkuran tertawa. Ia sebenarnya baru setengah tahun tinggal di Kota di Kaki Gunung Merbabu. Ia ikut budenya yang tidak punya anak. Dan di kota kecil itulah, ia dibiayai untuk keperluan sekolah. “Aku mau karena setelah lulus nanti, tetap sekolah di SMP dan seterusnya. Bude janji untuk membiayai,” ceritanya kepada Tika, beberapa waktu lalu. Semalam, diulang.

“Tuh, kan. Pakai tertawa segala?” dengus Tika. “Kalau jatuh tadi di sekitar rumah sih nggak apa. Lha ini. Sudah dekat dan teman-temen pastilah akan mengejekku habis-habisan.”

“Memang kenapa kalau di sini?”

“Ih!” sengit Tika. “Apa kata dunia? Bain, Tomo, Is dan Khoiri bisa terpingkal-pingkal. Ngejek.”

Begitulah kalau Tika sedang berkebaya dalam acara Kartinian di sekolah. Hampir tidak beda dengan tahun lalu. Mengeluh terus. Ia menjadi tidak tomboi seperti hari-hari biasa. Di mana Bain, Is atau Tom tak akan bisa mengganggunya. Semua dilawan. Ia bahkan kadang ikut main sepakbola dengan anak-anak laki-laki.

“Mau melihat Tika jadi perempuan, ah!” goda Is.

“Yang jalannya kayak siput …hehehe!” sambung Tomo.

Kali ini Tika hanya menggigit bibir bawahnya. ”Awas, nanti kubalas, ya?”

“Uhuiiii …Tika mati kutu nih ya?”

Anak perempuan itu hanya bisa melotot ke arah Is dan teman-teman. Mereka seperti menang melihat Tika kerepotan. Bahkan untuk mencapai aula sekolah pun, terus-menerus berpegangan kepada Siti. “Ah, tak percuma ia semalam tidur di rumahku. Hingga aku tertolong,” kata Tika dalam hati. Siti memang teman sebangku yang baik. Meski ia dari desa, yang berada di Kaki Gunung.

Acara berlangsung meriah. Dan Tika tidak bisa ikut lomba. Satu pun. Ia memilih menjadi pendiam. Anak berambut pendek itu masih saja diribetkan dengan dandanan baju kebaya dan kain panjang yang membelitnya.

“Lomba menulis ‘Surat-surat Kartini’, akan segera diumumkan siapa pemenangnya,” kata pembawa acara, Bu Diana.

Anak-anak pun berdengung.

“Kamu yang menang, Ti,” bisik Tika.

“Kayak dukun saja, kamu.”

“Ah, siapa sih di sekolah kita yang jago ngarang? Karanganmu kan sudah dimuat di majalah anak-anak, hayo?”

Dugaan Tika tidak meleset. Ketika diumumkan, Siti Roaedah menjadi pemenang pertama, Tika melonjak.

“Horeee …!”

Bersamaan itu, bruk. Tika jatuh. Namun kali ini ia tak peduli. Karena acara sudah selesai. Dan ia jatuh bukan karena terpeleset. Apalagi ada di depan anak-anak seperti Is, Bain atau yang lain.

“Kartini, akan tak pernah ingkar janji ….”

Siti mengenyitkan kening.

“Apa maksudmu, Tik?”

“Kalau aku akan traktir kamu. Nanti sepulang dari acara ini. Aku sudah janji. Kalau kamu menang, aku mau ngajak kamu makan-makan. Ya, makan bubur kacang ijo, biar sehat. Juga segelas es campur.”

Siti mendesah. Tak menyangka.

“Ya, nanti kita ke alun-alun depan Perpustakaan Kota. Setelah itu, aku mau minta diajari menulis. Biar pandai seperti Kartiniku, Siti Roaedah.”

Teman Tika itu kembali mendesah. Kali ini dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Aku sebenarnya mengidolaimu, lho, Ti.”

“Eh.”

“Bener. Sungguh.” Tika mengangkat tangan seperti orang bersumpah.

Keduanya pun naik becak ke Perpustakaan Kota. Untuk membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sambil makan bubur dan es campur.

“Kamu anak desa yang tidak memalukan. Kamu itu ibaratnya Kartini, Ti,” ujar Tika.

“Ah, sudahlah.”

“Tapi janji. Nanti ajari aku nulis, ya?”

Siti mengangguk.

“Aku yakin, kau takkan ingkar janji,” kata Tika pada sahabatnya itu. “Aku ingin belajar banyak dari kamu. Ya, apalagi pada hari-hari seperti ini.”

“Aku turun dari becak, nih! Kalau terus-terus ngomong begitu,” ancam Siti.

Tika ngakak. Ia merasa sudah bebas dari keribetan baju yang dikenakan. ***

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/ffa-inilah-perhelatan-dan-hasil-karya-peserta-festival-fiksi-anak-di-kompasiana-599896.html

Tampilkan riwayat pesan

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun