Membangun kultur sekolah itu penting. Sebab kultur sekolah yang baik akan mudah membawa warga sekolah mencapai visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, keberhasilan membangun kultur sekolah menjadi hajatan utama lembaga pendidikan.
Keberhasilan membangun kultur sekolah akan menjadi jembatan untuk membangun karakter siswa secara khusus, dan warga sekolah pada umumnya. Ketika karakter siswa berhasil dikelola dengan baik, maka suasana kondusif akan bisa dirasakan di lingkungan sekolah. Kondisi ini akan memudahkan sekolah membangun iklim kompetisi kompetensi antar siswa.
Seperti diketahui, karakter siswa akhir-akhir menjadi perbincangan hangat. Hal ini disebabkan banyaknya perilaku siswa yang dianggap sudah menyimpang, bahkan jauh dari harapan masyarakat tentang statusnya sebagai siswa. Tentu hal ini membuat masyarakat resah dan gelisah.
Di mata masyarakat, siswa adalah bagian dari kaum intelektual yang sedang berproses mengasah kompetensi dan potensinya untuk masa depannya. Maka sikap sopan, santun, disiplin, jujur, tanggungjawab, halus budi pekertinya, dianggap sebagai hal yang mestinya ada dan melekat pada seoarng diri mereka.
Dalam kenyataannya di masyakat, ditemukan perilaku siswa yang tidak sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan. Bahkan terdapat siswa yang berperilaku layaknya seorang preman yang tidak tersentuh dengan adab dan etika dalam kehidupannya. Bergaul bebas lawan jenis, tawuran antar siswa, berbuat onar di masyarakat, adalah contoh perilaku yang bertentangan dengan tata nilai sosial yang ada di masyarakat. Mereka sudah tidak lagi dikakategorikan berperilaku menyimpang, namun sudah berada dalam kondisi "a nomali sosial" yang sudah kebablasan.
Masalah dunia pendidikan yang selalu mengemuka
Di dunia pendidikan, setidaknya terdapat dua masalah besar. Keduanya adalah proses pembelajaran yang dijalankan. Pertama, rendahnya prestasi belajar siswa. Kedua merosotnya akhlaq siswa. Rendahnya prestasi belajar siswa biasanya dihubungkan dengan kemampuan intelektual siswa, sedangkan rendahnya akhlaq siswa lebih menjurus pada perilaku dan moralitas siswa (kecerdasan emosi). Masalah kedua ini biasanya disebut rendahnya karakter siswa. Penulis lebih "sreg" menyebut karakter siswa bermasalah.
Ketika para pakar, para praktisi pendidikan mengulik rendahnya prestasi belajar siswa, suasana resah dan gelisah tampaknya tidak sehebat resah dan gelisahnya ketika siswa berada dalam kemerosotan moralitas. Oleh sebab itu, ketika Kang Dedi melangkah dengan pendekatan "barak milirer" bagi siswa yang bermasalah karakternya, Â muncul reaksi dari berbagai tokoh yang ralatif lebih keras. Kalau dicermati, responnya lebih serius dibanding ketika memberikan respon rendahnya prestasi belajar siswa.
Kalau itu dianggap sebagai fenomena, hal itu menyadarkan kita semua, bahwa esensi pendidikan sebenarnya bukan diukur dari prestasi belajar (kecerdasan intelektua), namun kebih didasarkan pada kokohnya akhaq dan moral siswa (karakter siswa). Sebab kronisnya karakter siswa dampaknya jauh lebih besar dibanding rendahnya prestasi belajar siswa.
Ketika berbicara akhlaq, moral (karakter) siswa, titik tolaknya adalah pada mentalitas. Sedangkan mentalitas lebih bertumpu pada hatinya. Dengan demikian, kalau berhasil menata hati, maka kecederungan kuatnya akan menghasilkan mentalitas baik. Baiknya mentalitas siswa, pada akhirnya akan mengarah pada baiknya khlaq dan moralnya. Pada gilirannya, prestasi belajar siswa akan mengikutinya.