Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kemarau, Warga Kampungku seperti Peribahasa "Berakit-rakit ke Hulu, Berenang-renang ke Tepian"

5 September 2021   05:49 Diperbarui: 21 November 2021   06:20 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi ladang petani saat kemarau (sumber:dokumentasi pribadi)

Air hujan adalah berkah luar biasa bagi masyarakat di daerahku, sebab daerah kelahiranku adalah daerah "tadah hujan" artinya daerah yang menjadikan turunnya air hujan sebagai berkah kehidupan masyarakat. 

Petani berharap air hujan, rumah tangga untuk kepentingan masak, cuci dan kamar mandi semua bergantung pada air hujan.

Maka ketika kemarau, lahan pertanian jadi terbengkelai, urusan masak dan cuci baju jadi bermasalah, mandi sering tidak dilakukan. Kondisi demikian terjadi sampai tahun 1980-an.

Di kampungku, tempat air untuk masyarakat disiapkan "jedingan" ukuran sekitar 10 m x 10 m. 

Aliran air sangat tergantung pada sumber air yang terletak di desa atasnya. Namun seingatku pada musim hujan saja sarana air umum itu mengalir. 

Pada saat kemarau sering macet sehingga warga harus mencari air di desa sebelah yang jaraknya rata-rata 3 km.

Apa saja aktivitas yang dilakukan warga ketika kemarau panjang melanda?

Sore hari mandi di sungai sekalian cuci baju

Jarak sungai dengan kampungku sekitar 3 km. Namanya Sungai Harinjing. Sungai ini pada saat kemarau menjadi sasaran aku, teman-temanku serta sebagian besar warga untuk mandi dan cuci pakaian. Ramai, berbondong-bondong setiap sore, satu tujuan semuanya, yaitu mandi di sungai. 

Jadi, urusan mandi adalah masalah besar ketika kemarau panjang melanda. Karena tidak adanya air untuk keperluan mandi, maka penduduk harus ramai-ramai mandi ke sungai yang berjarak sekitar 3 km. 

Mereka berjalan bersama sambil membawa pakaian yang mau dicuci. Sesampainya di sungai aku dan teman-teman mandi sepuasnya, sedangkan warga yang lain setelah mencuci baru mandi.

Sungai menjadi sarana pemersatu antar warga. Selain saat mandi namun juga saat berangkat dan pulang, apalagi harus jalan sampai 3 km. 

Terkadang warga pemilik sungai juga kesal karena merasa terusik. Mengapa ada yang terusik? Karena memang berbondong-bondong.

Antri air di tempat umum

Kegiatan lain pada saat kemarau panjang adalah antri air di tempat sarana air umum. Antrian cukup panjang dan lama. 

Memoriku masih mengingat bahwa lama antrian sampai 6 jam bahkan bisa 10 jam. Waktu yang sangat lama untuk ukuran sekarang. Tetapi harus tetap dijalani demi air untuk keperluan minum dan masak.

Sarana air umum menjadi sarana berinteraksi antar warga. Sambil menunggu antrian hingga larut malam bahkan sampai pagi, mereka bisa berbagi cerita dan saling berbagi makanan apa yang dibawa masing-masing.

Mencari air dengan cara memikul di desa atasnya, nama desanya Wonorejo.

Desa Wonorejo secara geografis berada di atas kampungku (Kampungbaru). 

Desa Wonorejo mempunyai sumber air yang tidak pernah kering. 

Maka setiap kemarau, aku dan teman-teman serta bapak-bapak berbondong-bondong juga memikul "tong kosong" ke Desa Wonorejo. 

Perjalanan harus ditempuh sekitar 40 menit. Kalau pulang bisa lebih lama, karena tong kosongnya sudah berisi air. Jadi sering istirahat sebab pundak kiri dan kanan harus bergantian menahan beban.

Sambil memikul air, aku dan teman-teman sebaya beserta bapak-bapak saling bercerita dan bercanda. Cerita dan canda itu tanpa kami sadari akhirnya membawa kami tanpa sadar sudah tiba di rumah masing-masing.

Di kampungku, semua warga selalu membuat penampung air hujan. Sehingga pada saat hujan, warga mengisi tempat penampungan. 

Orang kampungku menyebuit "jedingan" (semacam kolam ukuran 4 m x 4 m) dengan tinggi sampai 1,5 m. 

Makin besar penampung air yang dibuat, warga akan lebih lama mempunyai stok air di saat kemarau panjang. 

Saat itu pembuatan sumur secara manual tidak bisa. Katanya terlalu dalam.

Memoriku tentang kakak-kakak mahasiswa IKIP Malang saat KKN

Ada cerita menarik dan mennginspirasi tentang kegiatan KKN kakak-kakak Mahasiswa IKIP Malang. 

Kala itu aku masih SMP kelas 2, jadi aku sudah bisa memahami berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kakak-kakak mahasiswa KKN. Apalagi aku sekolah juga harus berjalan sekitar 3 km. 

Sekolahku dekat dengan aliran sungai yang biasa digunakan warga kampungku untuk mandi, cuci pakaian, memandikan ternak, dan lain sebagainya. 

Pulang dan pergi sekolah saya selalu melihat kegiatan kakak-kakak mahasiswa yang KKN.

Alkisah, pada saat mereka KKN di kampungku bertepatan saat sedang kemarau panjang. 

Kondisi inilah yang menginpirasi mereka untuk mencarikan jalan keluar warga. Nah, mereka ceritanya minta bantuan kepada pemerintah Kabupaten Kediri. 

Padahal jarak kampungku sampai kabupaten nyampai 70 km. Belum ada akses kendaraan yang masuk kampungku. Satu-satunya sarana sepeda "onthel" yang dimiliki beberapa warga yang mampu beli.

Tangki air menjadi pemandangan baru warga kampungku  

Aku dan teman-teman, melihat pemandangan baru yaitu puluhan tengki air berjajar masuk ke kampungku. 

Warga kampungku di hari pertama, ekspresinya nampak keheranan dengan pemandangan baru ini. 

Aku, teman-teman sebaya dan warga akhirnya tumpah ruah mendekati tengki air untuk mengambil jatah air.

Hari kedua dan berikutnya ekspresi keterkejutan sudah tidak seheboh pada hari pertama ketika tangka air memasuki kampung. Mereka sudah lebih mudah diatur dan membawa "tong kosong" sesuai arahan perangkat desa.

Ketika kakak-kakak KKN selesai menjalankan tugasnya berpamitan di pendopo desa, warga berbondong-bondong datang di pendopo untuk melepas kakak-kakak KKN. 

Tangisan warga menggema mengiringi kakak-kakak KKN meninggalkan kampungku. Warga kampungku merasakan betapa besar jasa kakak-kakak KKN.

Sejak itu setiap kemarau tiba, perangkat desa langsung meluncur ke pemerintah Kabupaten Kediri untuk meminta bantuan air. 

Sejak itu pula aktivitas sore pergi ke sungai beramai-ramai berhenti. Demikian juga antri air berjam-jam sudah tidak dilakukan. Apalagi mencari air di desa atasnya dengan cara memikul sudah tidak lagi dilakukan.

Warga menunggu hujan untuk lahan pertanian, keperluan minum, masak, dan cuci sudah tercukupi dari stok air hujan yang dibuat serta tangki air bantuan pemerintah jika kemarau.

Anak sekolah sampai SMP di kampungku termasuk langka. Waktu aku SMP belum ada warga kampungku yang sekolah sampai SLTA. Umumnya sampai SMP keluar, kerja dan menikah sehingga budaya kawin usia muda sangat tinggi di kampungku.

Bersyukur aku terinspirasi kakak-kakak KKN untuk sekolah lagi atas dukungan orang tua. Bersyukurnya lagi setelah SMA masih dibolehkan orang tua melanjutkan kuliah asalkan diterima di negeri. Lebih bersyukur lagi tahun 1986, aku menjadi sarjana pertama di kampungku.  

Kemarau menjadikan aku dan warga kampungku berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang bisa dilakukan. 

Namun sejak kehadiran kakak-kakak KKN, wargaku terentaskan masalah besarnya dan aku terinspirasi untuk melanjutkan pendidikan sampai lulus sarjana. 

Perjalananku dan warga kampungku seperti peribahasa "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun