Sebab di hutan yang tak pasti, hanya mereka yang bisa menertawakan luka yang mampu berjalan lebih jauh.
Barangkali, hidup memang tak pernah ditakdirkan untuk selalu masuk akal.
Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bisa direncanakan, dikalkulasi, dipetakan seperti jalur pendakian yang tertera rapi dalam peta. Bahwa selama kita memilih jalur yang tepat, waktu yang tepat, perbekalan yang tepat, maka kita akan tiba di puncak seperti yang dijanjikan.
Namun kenyataan membuktikan hal yang berbeda. Peta seringkali tidak relevan di medan yang terus berubah. Hutan tidak menyediakan arah. Ia hanya menyediakan kemungkinan. Dan kita sebagai manusia seringkali mendamba kepastian di medan yang justru dibangun dari ketidakpastian.
Di titik ini, sebagian orang akan memilih untuk panik. Sebagian lagi memilih berhenti. Tapi ada satu jenis manusia yang justru bertahan lebih lama, yaitu mereka yang mampu melihat absurditas hidup ini sebagai sesuatu yang bisa ditertawakan.
Menertawakan hidup bukan berarti meremehkannya. Itu justru bentuk penerimaan yang matang.
Dalam dunia psikologi, kemampuan untuk menertawakan diri sendiri dan situasi yang absurd dalam hidup disebut dengan adaptive humor. Salah satu mekanisme pertahanan psikologis yang paling sehat. Ini bukan bentuk penghindaran, melainkan cara untuk menciptakan jarak emosional yang cukup agar kita tidak terseret terlalu dalam ke jurang kecemasan dan rasa bersalah.
Hidup dalam genre comedy berarti kita berhenti memaksakan diri menjadi tokoh protagonis dalam kisah heroik yang selalu menang, dan mulai menerima kenyataan bahwa seringkali kita adalah tokoh figuran dalam cerita orang lain, atau karakter yang tersandung di babak awal dan lupa masuk skrip final.
Di dalam hutan, menertawakan kesalahan bukan kelemahan, itu justru strategi untuk bertahan hidup.
Bayangkan kamu tersesat di hutan. Tidak ada sinyal. Tidak ada GPS. Tidak ada petunjuk jalan. Yang kamu punya hanyalah intuisi yang belum tentu akurat dan kemampuan menertawakan kekeliruanmu sendiri.
Dalam konteks itu, menertawakan diri bukan bentuk pengabaian terhadap masalah, tapi bentuk pemulihan energi. Karena seseorang yang menganggap setiap kesalahan sebagai tragedi besar, energinya akan cepat habis oleh tekanan internalnya sendiri.
Kita tidak bisa berjalan jauh dengan beban yang terlalu berat. Dan terkadang, beban itu bukan berasal dari medan, tetapi justru berasal dari ekspektasi berlebihan terhadap "bagaimana seharusnya hidup berjalan".
Komedi menciptakan ruang bagi nalar untuk bernapas.
Ketika kamu melihat hidup sebagai panggung drama, maka setiap babak akan selalu terasa genting. Ketika kamu melihat hidup sebagai sebuah pertarungan, maka setiap kesalahan terasa begitu fatal. Tapi ketika kamu mulai melihat hidup dengan genre comedy, bukan dalam arti menyepelekan, melainkan menyadari keanehan inheren dalam eksistensi manusia, maka kamu menciptakan ruang mental yang lebih fleksibel.
Dalam analogi hutan:
- Ketika kamu terpeleset di lumpur, kamu bisa mengutuk nasib, atau kamu bisa bilang, "Setidaknya, ini bukan jurang."
- Ketika rute berubah karena pohon tumbang, kamu bisa frustrasi, atau kamu bisa berpikir, "Barangkali ini cara semesta menyuruhku istirahat."
Tapi perlu dicatat: Comedy bukan pelarian. Ia adalah cermin yang jujur.
Comedy yang sejati tidak berfungsi untuk menghindari rasa sakit, melainkan untuk mengubahnya menjadi narasi yang bisa kita pahami dan diolah secara emosional. Ia diperuntukkan bukan untuk memanipulasi kenyataan, tapi untuk mendekatinya dengan cara yang tidak membuat kita kehilangan akal sehat.
Comedy yang dewasa justru lahir dari pengamatan yang tajam terhadap realitas. Sebab hanya mereka yang cukup sadar akan kompleksitas hidup yang bisa melihat betapa konyolnya kita mencoba mengendalikan sesuatu yang bahkan tak pernah kita pahami sepenuhnya.
Hidup dengan genre komedi adalah bentuk keberanian eksistensial.
Keberanian untuk tetap berjalan meski tidak tahu pasti kemana arahnya.
Keberanian untuk jatuh dan tertawa atas kejatuhan itu, bukan untuk menghibur diri, tapi untuk menolak tunduk pada narasi bahwa hidup harus selalu mulus agar bernilai.
Di dalam hutan, yang selamat bukan yang paling tahu arah, tapi yang tahu bagaimana caranya menertawakan rute yang terus berubah.
Di dunia yang terlalu sering membuat kita merasa gagal, comedy adalah ruang pulang yang paling manusiawi.
Hidup bukan ujian. Ia juga bukan panggung kompetisi. Ia adalah hutan besar dengan cuaca tak menentu, suara-suara asing, dan jalan yang tidak selalu membawa kita ke tempat yang kita harapkan. Tapi jika kita cukup waras untuk menertawakannya dengan jujur, tanpa menyangkal perihnya. Barangkali itu sudah lebih dari cukup.
Karena seperti kata seseorang yang pernah tersesat terlalu lama:
"Kadang yang paling menyelamatkan bukan arah, tapi kemampuan untuk tetap berjalan sambil tertawa."
Referensi:
- Martin, R. A., Puhlik-Doris, P., Larsen, G., Gray, J., & Weir, K. (2003). Individual differences in uses of humor and their relation to psychological well-being: Development of the Humor Styles Questionnaire. Journal of Research in Personality, 37(1), 48--75. https://doi.org/10.1016/S0092-6566(02)00534-2
- Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist, 56(3), 218--226. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218
- Kashdan, T. B., & Rottenberg, J. (2010). Psychological flexibility as a fundamental aspect of health. Clinical Psychology Review, 30(7), 865--878. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2010.03.001
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI