Mohon tunggu...
cindy ayu adila
cindy ayu adila Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya

Seorang mahasiswi magister

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tragedi di Balik Tawa: Menelisik Budaya Bullying dari Kacamata Psikologi Sosial

19 Oktober 2025   16:15 Diperbarui: 19 Oktober 2025   16:15 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, meninggalkan duka mendalam bagi banyak pihak. Di balik kesedihan itu, publik juga menunjukkan gelombang empati, kemarahan, dan refleksi sosial yang kuat. Dari kacamata psikologi sosial, reaksi publik ini memperlihatkan betapa kuatnya dinamika kelompok, konformitas, dan empati sosial dalam membentuk perilaku manusia di lingkungan kampus.

Dalam konteks psikologi sosial, perundungan (bullying) bukan hanya tindakan individu yang “iseng” atau “bercanda berlebihan.” Ia sering lahir dari tekanan norma kelompok ketika seseorang ingin diterima dalam lingkungannya, mereka bisa tanpa sadar mengikuti perilaku yang sebenarnya menyimpang. Fenomena ini disebut konformitas sosial, di mana individu menyesuaikan diri terhadap perilaku kelompok demi dianggap “bagian dari mereka.” Dalam kasus seperti ini, ejekan dan candaan menjadi alat validasi sosial, padahal bagi korban, dampaknya bisa sangat menyakitkan dan berkepanjangan.

Opini publik yang muncul pasca ragedi Timothy menunjukkan bahwa empati kolektif masih hidup dalam masyarakat. Ribuan pesan belasungkawa, doa, dan seruan keadilan di media sosial menjadi wujud dari respon prososial tindakan yang didorong oleh kepedulian terhadap penderitaan orang lain. Fenomena ini penting dalam psikologi sosial karena menunjukkan bagaimana emosi bersama (shared emotion) dapat mendorong solidaritas dan keinginan untuk memperbaiki sistem sosial yang rusak.

Selain itu, publik juga menyoroti pentingnya dukungan sosial dan sistem konseling di kampus. Dalam teori psikologi sosial, dukungan sosial terbukti mampu menurunkan stres dan mencegah keputusasaan. Ketika individu merasa tidak sendirian menghadapi tekanan sosial, daya tahan psikologis mereka meningkat. Maka, tanggung jawab perguruan tinggi bukan hanya mendidik intelektual, tetapi juga membangun ekosistem sosial yang sehat dan empatik.

Tragedi ini menjadi panggilan moral bagi seluruh komunitas akademik. Psikologi sosial mengingatkan kita bahwa perilaku kejam tidak lahir di ruang hampa ia tumbuh dari budaya, norma, dan interaksi yang dibiarkan tanpa koreksi. Oleh karena itu, membangun kampus yang beradab bukan sekadar slogan, melainkan proses panjang menumbuhkan kesadaran kolektif, empati, dan keberanian untuk menegur ketidak adilan.

Semoga peristiwa ini menjadi cermin bagi kita semua untuk terus menumbuhkan empati sosial, melawan budaya perundungan, dan menciptakan ruang belajar yang benar-benar aman bagi pikiran, perasaan, dan kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun