Oleh: Cindy Apriliani 2502026003
Prodi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman
Dalam dinamika politik Indonesia yang terus berkembang, keputusan kebijakan DPR seringkali menjadi sorotan publik. Salah satu kasus yang memantik reaksi publik adalah penghapusan tunjangan perumahan anggota DPR senilai 50 juta per bulan, yang dihapus sejak 31 Agustus 2025. Hal ini dianggap sebagai langkah efisiensi anggaran, namun terdapat plot twist dibalik penghapusan tunjangan tersebut. Ada kenaikan dana reses yang nilainya naik hampir dua kali lipat, dari 400 juta per orang kini menjadi 702 juta per orang. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis, Apakah keputusan tersebut benar-benar mencerminkan komitmen DPR terhadap kepentingan rakyat, atau justru menunjukkan prioritas yang salah arah di tengah tantangan politik nasional?
Secara konstitusional, reses memiliki dasar hukum yang kuat. Pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), khususnya Pasal 239 ayat (1) yang menegaskan bahwa DPR RI melaksanakan masa persidangan dan masa reses dalam satu tahun sidang. Ketentuan ini diperjelas melalui Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI, Pasal 91 hingga Pasal 94, yang mengatur mekanisme pelaksanaan reses oleh anggota DPR di dapil masing-masing. Dengan demikian, reses merupakan bagian integral dari siklus kerja DPR yang harus dijalankan secara periodik.
Namun, yang menjadi sorotan dan pertanyaan publik di sini adalah, untuk apa kenaikan dana reses tersebut? Benarkah dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya atau justru disalahgunakan?
Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyoroti sisi paling absurd dari dana reses ini. Laporan pertanggungjawabannya yang kabur seperti hantu. Menurutnya, kegiatan reses seringkali hanya formalitas administratif, sementara hasilnya jarang terasa oleh rakyat di dapil. Reses yang seharusnya menyerap aspirasi rakyat justru lebih terasa seperti kesempatan menambah pundi-pundi pribadi.
Wakil ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkap alasan kenaikan dana reses periode 2025-2029 yaitu karena indeks dari kegiatan jumlah dapil yang didukung bertambah dari periode sebelumnya. Ia juga menegaskan dana reses tidak masuk ke kantong anggota dewan, melainkan untuk kegiatan reses di dapil dengan berbagai kegiatan menyerap aspirasi rakyat.
Lucius dan publik sepakat, komunikasi DPR dengan rakyat memang luar biasa. Luar biasa tidak nyambung. Ketika rakyat berharap penghematan, DPR justru naik kelas ke “reses fantasis”.Disaat rakyatnya masih menghitung harga beras dan BBM, para wakilnya justru tampak sibuk menghitung berapa banyak “aspirasi” yang bisa diserap dari dana ratusan juta itu.