Opini - Akhir-akhir ini, saya sering memperhatikan fenomena menarik di ruang-ruang publik: semakin banyak perempuan usia produktif yang dengan percaya diri melakukan berbagai aktivitas sendirian.
Ke kafe sendiri, makan di restoran sendiri, menonton film di bioskop sendiri, bahkan beribadah ke gereja pun sendiri. Uniknya, saya melihat jumlah perempuan muda yang datang sendiri ke gereja lebih banyak dibandingkan laki-laki muda.
Bagi sebagian orang, hal ini mungkin tampak menyedihkan atau memprihatinkan. Namun, bagi mereka yang menjalaninya, ternyata tidak seburuk itu.Â
Apa yang perlu ditakutkan?
Transportasi bisa dipesan secara online. Pembayaran mudah dengan QRIS atau kartu debit. Kesepian? Ada ponsel pintar yang bisa di-scroll sambil menikmati kopi.
Perempuan-perempuan mandiri ini sudah tidak takut lagi akan penilaian sosial. Ketidakhadiran pasangan bukanlah indikator kurangnya kepercayaan diri. Mereka tetap tampil nyaman dengan dirinya sendiri.
Komentar miring? Biasanya hanya sebatas dalam hati orang lain: "Kasihan, sendirian." "Sudah umur segini, belum menikah?" Terlalu memikirkan isi hati orang lain pun terasa kurang perlu.
Fenomena ini menunjukkan hal positif: generasi muda, khususnya perempuan, mulai mengambil alih kendali hidupnya. Mereka lebih berani membuat keputusan sendiri, mengenal batas kemampuannya, dan tidak terlalu terpaku pada ekspektasi sosial.
Namun, di sisi lain ada hal yang perlu dicermati. Rasa mandiri yang kuat bisa saja berkembang menjadi kebanggaan berlebihan (over pride).
Dalam beberapa kasus, kebanggan berlebihan atas diri sendiri menjadi bentuk pertahanan untuk menghadapi stigma sosial, terutama jika terlalu sering diasosiasikan dengan "kesendirian" yang dianggap negatif.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat?