Mohon tunggu...
Inovasi

Mitos Jurnalisme

10 Juni 2016   21:23 Diperbarui: 10 Juni 2016   21:26 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IDENTITAS BUKU

Judul Buku        : Mitos Jurnalisme

Penulis              : Dudi Sabil Iskandar dan Rini Lestari

Penerbit            : Penerbit ANDI

Cetak                  : 1 (Pertama), Januari, 2015

Jumlah Halaman : 330 hlm


ISBN                    :978-979-29-5542-2

***

DUA MAZHAB KOMUNIKASI

Komunikasi adalah salah satu cara manusiamempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan komunikasi, manusia mengaktualisasikan segala potensinya. Ketiadaan atau gangguan dalam proses komunikasi bukan saja akan mempersulit gerak langkah sebagai mahluk sosial, tetapi juga membuat manusia kesulitan mengeksplorasi segenap kemampuan dasarnya secara individual.

Definisi komunikasi sangat beragam. Littlejohn dan Karen A. Foss mencatat keberagaman definisi komunikasi karena berangkat dari tiga level yang berbeda. Yaitu, level of observations atau abstractness, intentionality, dan normative judgment. Sepanjang sejarahnya, komunikasi mengenal dua aliran/ mazhab pemikiran. Yakni aliran perpindahan pesan (mazhab transmisi) dan aliran pertukaran makna (mazhab semiotika).

Elemen pokok dari aliran transmisi ini adalah komunikator, pesan, media, komunikan dan efek. Dalam perspektif ini, komunikasi adalah sebuah proses perpindahan pesan atau komunikasi bisa dipahami sebagai proses-proses penyampaian pesan, baik verbal maupun non verbal.

Sedangkan aliran pertukaran makna (production and exchange of meaning) dipopulerkan oleh tokoh seperti James Craey dan John Fiske. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda dan makna. Komunikasi dalam pendekatan semiotik ini melibatkan unsur bahasa (linguistik) dan aspek-aspek seni. Jika dalam komunikasi mazhab transmisi elemen pokoknya adalah komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Sedangkan dalam mazhab semiotika yang menjadi elemen dasarnya adalah author (pengarang). Pesan dalam mazhab semiotika didefinisikan sebagai kontruksi dari tanda-tanda yang akan memproduksi makna melalui interaksi dengan audiens/penerima.

KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL

Teori konstruksi realitas sosial adalah khas Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini dilansir dalam buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Secara umum, teori Berger dan Luckman membahas tentang sosiologi pengetahuan. Menurut keduanya, kenyataan dibangun secara sosial, sehingga sosiologi harus menganalisis terjadinya kenyataan tersebut. Maksudnya, setiap individu dalam masyarakat merupakan pihak yang membangun masyarakat, pengalaman individu tidak bisa dipisahkan dengan gerak dan dinamika masyarakatnya. Dari sinilah lahirnya tiga konsep mereka yang terkenal, yakni proses proses dialektis objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.

KONSTRUKSI REALITAS MEDIA

Media massa dengan segala perangkat da kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ia adalah urat nadi dan kesadaran. Secara general, bisa dipastikan tidak ada masyarakat yang tidak tersentuh oleh media massa. Karena itu, lumrah bila efek media massa pada masyarakat sangat terasa. Setelah media cetak dan elektronik menghegemoni masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, kini internet menjadi biang arus informasi. Salah satu pembentuk konstruksi realitas di dunia modern adalah media massa. Seraya melontarkan kritik terhadap Berger dan Luckman, Burhan Bungin menyebutkan media massa, termasuk surat kabar, menjadi variabel yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Menurut Burhan Bungin, ada empat tahapan kelahiran konstruksi sosial media massa, yaitu, penyiapan materi konstruksi, sebaran konstruksi, pembentukan konstruksi realitas dan konfirmasi. Dari empat tahapan itu melahirkan dua model konstruktur realitas media massa, yaitu model analog dan refleksi realitas. Model pertama terjadi dan dibangun secara rasional dan dramatis terhadap suatu kejadian. Dari sini masyarakat mendapatkan realitas yang dikonstruksikan media massa dari sebuah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Namun, realitas yang dikonstruksi media massa bukan realitas sebenarnya. Sedangkan model kedua terbangun dari refleksi yang pernah terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, berita merupakan hasil konstruksi media massa terhadap suatu peristiwa (yang dijadikan acuan khalayak) bukan realitas yang sebenarnya. Dia menjadi realitas buatan atau yang kedua. Dengan kata lain, tidak ada teks media yang sepenuhnya objektif atau hanya kumpulan fakta yang dijadikan data untuk sebuah siaran, tayangan, dan tulisan. Selalu ada campur tangan pikiran dan sikap penulis atau editor bahkan kebijaksanaan redaksi media tersebut.  Institusi dan pemilik media atau pemegang saham adalah pemilik kepentingan media hari ini.

BAHASA DAN KONSTRUKSI REALITAS MEDIA

Ada tiga strategi yang digunakan membuat wacana, yaitu signing, framing dan priming. Sigining adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun non verbal. Framingadalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan Priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana dihadapan khalayak. Dengan demikian wacana yang dikontruksi media cetak harus dibedah dan dianalisis sehingga akan terkuak maknanya.

JURNALISME ONLINE

Media mebgalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan metamorfosis. Bermula dari surat kabar, buku, film, radio, televisi dan internet. Media massa yang terakhir, internet kemudian mempopulerkan istilah media baru (new media). Kehadiran internet mengubah secara drastis dan dramatis perkembangan media massa. Setidaknya internet memicu dua perubahan mendasar di media. Pertama, subtansi media yaitu proses jurnalistik. Kedua, bentuk atau format organisasi media. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendir atau memiliki organisasi dan manajemen sendiri, kini mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi media. Kini, hampir semua media cetak dan elektronik membarenginya dengan berbentuk berita online, e-paper, dan live streaming. Perubahan mendasar pada jurnalisme media lantas memunculkan terminologi mengenaskan bernama krisis jurnalisme.

Todd Gitlin menunjukan, kondisi krisis jurnalisme ini dengan mengindikasikan lima indikator, yaitu jatuhnya sirkulasi, jatuhnya pendapat advertising, difusi perhatian, krisis yang berwenang, dan ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan struktur kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa krisis yang mendalam jurnalisme. Krisis jurnalisme didiagnosis meliputi serangkaian masalah yang berkaitan dengan waktu, uang, otonomi dan perubahan budaya.

Beberapa karakteristik jurnalisme online, antara lain:

  • Unlimited Space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin.
  • Audience Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita atau informasi.
  • Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus membaca secara berurutan.
  • Storage and Retrieval. Jurnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa diakses kembali dengan mudan kapan dan dimana saja.
  • Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara cepat dan langsung.
  • Multimedia Capability. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, gambar, video dan komponen lainnya sekaligus.
  • Interactivity. Jurnalistik online memungkinkan interaksi langsung dengan pembaca seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.

MITOS JURNALISME SEBAGAI PILAR KEEMPAT DEMOKRASI

Di era modern, kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Media hanya bisa menjadi pilar keeempat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (Yudikatif, Legistatif dan Eksekutif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi dan bisnis serta memegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis.

Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan author makna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas syawat politik adalah per dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar keempat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Segala sesuatu yang dirujuk dan dapat diinterpretasikan adalah tanda. Menurut Winfried Noth, tanda (sign) berfungsi membangkitkan makna. Makna timbul karena ada pertemuan antara penanda (signifier) dan pertanda (signified). Juga makna timbul karena tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense)dan pikiran (reason).

Dua tokoh semiotik awal yang memperkenalkan tentang tanda adalah ahli lingustik Swiss, Ferdinand de Saussure dan filsuf Amerika, Charles Sanders Pierce. Hingga kini banyak teori tentang semiotika yang dikemukakan para ahli. Salah satu pengususng semiotika yang cukup terkenal adalah Roland Barthes. Kunci dari ajaran semiotika Barthes adalah makna denotasi, konotasi dan mitos.

Menurut gambaran Barthes, tanda denotatif terdiri atas penanda dan pertanda. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Dengan kata lain, menurut Cobley dan Janzs, hal tersebut merupakan unsur material. Misalnya jika kita mengenal tanda “singa”, maka konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian. Menjadi mungkin muncul. Dalam pandangannya, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan tetapi juga mempunyai kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Studi Barthes tentang tanda bertumpu pada peran pembaca (reader). Baginya, konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agara dapat berfungsi. Ia membuat sebuah model sistematis dalam menganalisa makna dan tanda-tanda. Fokus Barthes adalah gagasan tentag signifikasi dua tahap (two order of signification).

***

Tulisan ini dibuat untuk tugas mata kuliah BAHASA JURNALISTIK.

Nama : Chynthia Hanani

NIM : 1271511303

Prodi : Broadcast Journalism Universitas Budi Luhur Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun