Mohon tunggu...
churmatin nasoichah
churmatin nasoichah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

^-^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Uang Kebon dari Perkebunan Deli Sumatera Timur pada Abad 20 Masehi

29 Juli 2021   06:41 Diperbarui: 29 Juli 2021   09:35 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2010)

Pada awal abad 20 Masehi, Sumatera Utara khususnya di wilayah Sumatera Timurnya (pesisir Selat Malaka) terkenal dengan adanya perkebunan Deli. Perkebunan-perkebunan tersebut dibuka oleh para investor Asing untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Beberapa pengusaha dari Belanda, Inggris, Perancis, dan yang lainnya berbondong-bondong membuka perkebunan swasta di tanah Deli tersebut.

Kebijakan dari Kesultanan Deli terkait perizinan membuat semakin leluasanya para investor dalam mengeksploitasi alam Sumatera Utara khususnya di wilayah timur. Beberapa hasil perkebunan ditanam dan yang paling terkenal adalah tembakau Deli. Harga tembakau Deli kala itu melejit dan menjadi idola di pasar Eropa.

Dengan kebutuhan pasar yang kian meningkat, tentu dibutuhkan berbagai upaya dalam meningkatkan jumlah produksi. Dalam hal ini kebutuhan akan tenaga kerja sangat dibutuhkan. Berbondong-bondong pekerja atau buruh didatangkan baik dari Jawa, Cina, maupun India. Tidak heran hingga saat ini ketiga etnis tersebut banyak mendominasi wilayah Sumatera Utara, terutama Medan.

Para pekerja atau buruh yang didatangkan dari berbagai wilayah tersebut dikenal dengan sebutan kuli kontrak. Dinamakan demikian karena para pekerja tersebut telah terikat kontrak mulai dari awal bekerja hingga perpanjangan kontrak. Namun demikian sebenarnya mereka tidak bisa dengan mudahnya melepaskan ikatan kontrak itu.

Berbagai aturan dilakukan dari pihak perkebunan yang tentunya cenderung lebih menguntungkan dan berpihak ke perusahaan. Banyak hal yang merugikan dan mengikat para kuli kontrak tersebut termasuk hutang-hutang mereka yang kian hari kian bertambah dan tak kunjung lunas. 

Dari salah satu cara perusahaan dalam mengikat para kuli kontrak adalah dengan munculnya uang kebon. Uang kebon ini digunakan untuk membayar gaji-gaji para kuli kontrak. Namun disayangkan uang kebon tersebut hanya berlaku di perkebunan itu saja. Jika digunakan diluar wilayah perkebunan, maka uang tersebut tidak akan berlaku.

Jika para kuli kontrak ingin menggunakan uangnya maka harus ditukarkan terlebih dahulu dengan uang Gulden, uang yang berlaku saat itu. Sedikit merepotkan para kuli kontrak tentunya. 

Dengan munculnya berbagai perusahaan di Sumatera Timur tersebut, pada akhirnya muncullah juga berbagai jenis uang kebon yang digunakan di masing-masing perkebunan. Uang-uang kebon tersebut dibuat dengan berbagai bentuk dan variasi ukuran tergantung selera dari masing-masing perkebunan (baca: sangkhakala.kemdikbud).

Kondisi perkebunan yang cenderung tidak memihak para kuli kontrak tersebut justru didukung oleh pihak Pemerintah Belanda yang berkuasa saat itu. Seolah dari pihak Pemerintah Belanda tidak mau tau dan tidak ambil pusing dengan kondisi tersebut. 

Bentuk ketidakpedulian dari pihak Pemerintah Belanda adalah dengan disepakatinya antara Pemerintah Belanda dengan pihak Pengusaha/Investor Perkebunan dalam menerapkan penggunaan uang kebon tersebut sebagai upah/gaji para kuli kontrak. Melalui Kepala Departemen Pemerintahan Dalam Negeri kesepakatan tersebut dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun