Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Si Luwak dan Kebun Buah Nan Ranum

21 Oktober 2022   18:20 Diperbarui: 21 Oktober 2022   18:40 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada suatu hari nan cerah, tersebutlah seekor luwak yang bersemangat sedang berjalan-jalan santai tanpa suatu tujuan tertentu. Ketika sedang asyik berjalan sambil menikmati suasana sore hari, tiba-tiba hidungnya yang cerdas mengendus aroma lezat buah-buahan ranum. 

Mendadak si luwak merasa lapar, ngiler, dan tanpa pikir panjang langkah kakinya dipercepat menuju sumber aroma menyenangkan itu. Tak lama, tampak di depan matanya segerombolan pohon buah-buahan yang semuanya sedang matang berbuah, ranum dan wangi. Amboiii......hatinya berdansa riang, langkah kaki pun bergegas masuk ke dalam kebun itu.

Tapi, alamaaakk....Mama miaaa!

Si luwak terlalu gendut untuk menyelinap di celah jeruji pagar yang melindungi gerombolan pohon itu dari pencoleng seperti dirinya. Dia mencoba ngotot, memaksakan tubuhnya dengan meliak-liuk meniru aksi manusia karet di tivi salah satu warga desa yang pernah dia intip-tonton. Tak berhasil.  

Apa akal?

Pikir punya pikir, akhirnya si luwak mendapatkan ide cemerlang. Mulai saat itu dia berpuasa, pantang makan dan minum selama tiga hari tiga malam, tapi tidak sampai tiga purnama. Lumayan tersiksa, sih, apalagi di dekatnya gerombolan pohon buah-buahan itu selalu menggoda. Dia memejamkan mata dan menulikan telinga untuk mengusir godaan itu, sehingga pada hari ketiga yeaahh..... Si luwak bersorak gembira. 


Tubuhnya sudah cukup langsing untuk menyelip masuk melalui celah jeruji pagar kebun buah, dan setelah sampai di dalam dengan sangat rakus dia melahap semua buah yang selama tiga hari tiga malam telah dengan tanpa henti memanggil-manggilnya untuk mencicipi mereka.

Setelah puas berpesta pora sampai perutnya membuncit dan langkahnya gontai bagai karung beras 50 kg yang berusaha berjalan (eh, karung beras tidak bisa jalan sendiri, ngawur nih si penulis), si luwak memutuskan sudah saatnya pulang kembali ke sarangnya. Dia mencoba keluar dari kebun melalui celah jeruji.

Tapi, alamaaaak..... Mama miaaa! Nggak bisa keluar nih oweee....!

Apa akal?

Pikir punya pikir, terpaksalah si luwak menjalankan taktik lamanya: berpuasa tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam tapi tidak sampai tiga purnama. Pada akhirnya si luwak berhasil keluar dari kebun itu, tetapi keadaannya sama saja kelaparannya dengan saat dia baru masuk.

Kita bisa dengan mudah menertawai si luwak dan menganggapnya pin-pin-bo alias pintar-pintar bodoh. Tetapi kisah si Luwak dan kebun buah-buahan nan ranum mengandung pesan yang jelas yang, menurut saya, bisa ditafsirkan ke dalam dua pengertian.

Pertama, kisah si luwak menggambarkan keadaan kita ketika datang ke dunia melalui kelahiran yang sekarang ini. Secara fisik kita datang dalam keadaan telanjang, tidak berbaju, tidak membawa ransel atau tas travelling, apalagi bawa-bawa ponsel atau gadget serta saldo gopay yang cukup untuk seumur hidup ngopi-ngopi. 

Tetapi secara niskala (tak kasat mata) kita datang dengan membawa karma-karma dari kehidupan lampau yang bisa berbuah pada waktunya ketika situasi dan kondisinya tepat. Ini seperti si luwak masuk ke kebun buah dengan perut kempis demi bisa menyelinap dari celah jeruji. 

Setelah lahir ke dunia, kita tumbuh dan melapuk, melakukan banyak karma-karma baru yang kusala (terampil, perbuatan baik) maupun akusala (tidak terampil, perbuatan buruk) serta memetik banyak buah karma yang pas kondisinya untuk berbuah. Ini seperti si luwak yang berpesta pora melahap buah di dalam kebun. Lalu tiba waktunya kita meninggalkan dunia ini, kita tak bisa membawa apa pun yang kita peroleh selama hidup. 

Tak ada rumah yang bisa dibawa, pakaian (kecuali yang terakhir dan dipakaikan oleh pengurus jenazah kepada kita), tak ada mobil, ponsel, buku, akun FB, akun kompasiana, tiktok, dan segenap harta yang berhasil kita kumpulkan. 

Bahkan para sanak saudara hanya bisa menemani kita sampai di pekuburan atau krematorium saja, selannjutnya kita sendiri secara fisik tetapi secara niskala ditemani oleh semua karma-karma yang telah kita lakukan selama hidup. Persis sama dengan si luwak yang harus keluar dari kebun dengan perut kempis seperti kala dia masuk.

Kedua, kisah si luwak juga bisa dipahami sebagai penggambaran perilaku keseharian sebagian dari kita yang bertekad untuk meraih sukses (baca: duit) dengan bekerja begitu kerasnya sampai mengorbankan keseimbangan hidup. 

Saat tubuh meminta waktunya untuk beristirahat, kita mengabaikan permintaan itu. Saat tubuh mulai menjeritkan alarm karena telah terjadi kesakitan di beberapa bagian, kita sumpal jeritan itu dengan obat-obat penahan atau pembunuh rasa sakit demi bisa terus bekerja, kerja, kerjaaaa...bagai kuda gilaaa.... 

Pada akhirnya tubuh tak kuat lagi menopang aktivitas kita, dia menyerah dan kita pun terpaksa menginap di rumah sakit, dan rumah sakit tidaklah gratis bahkan bagi yang terlindungi oleh asuransi (karena perlindungan itu sesungguhnya telah kita bayar dengan premi yang rutin kita setorkan ke asuransi). Kita mengejar uang dengan bekerja keras dan mengorbankan kesehatan, setelah sakit kita mengorbankan uang agar bisa sehat kembali.

Bukankah ini sama saja dengan si luwak? Dia berpuasa demi bisa masuk ke kebun buah, setelah kenyang dia harus berpuasa lagi demi bisa keluar dari kebun itu.....

Apa kita mau bertingkah pin-pin-bo seperti si luwak?

"Udahlah, Kak, istirahat dulu ngetiknya. Ini saya bikinkan kopi luwak," kata perempuan pelayan kafe tempat saya numpang pakai WiFI-nya dengan modal beli kopi secangkir.

"Woaa....kopi luwak? Yang buah kopinya dimakan luwak lalu bijinya di-eek-in, trus dibersihkan, trus dikeringkan, trus disangrai dan sekarang diseduh?" tanya saya dengan agak kaget. Lagi asyik ngetik-ngetik dihampiri cewek kece, bawa kopi yang ada luwaknya pula.

"Iya, kenapa? Nggak mau?"

"Sini, coba saya icip dulu."

Sruputt.... srupuut...

"Eh, Nona kece, ini kopi luwak dari mana kok rasanya lebih mirip kopi instant sasetan?"

"Oh, ini kopi luwak yang white-white gitu lho, Kakak ganteeeeng..." jawabnya manis sambil mengedip-ngedipkan mata kayak orang kelilipan.

Gubrak! Pantesan,.,,,

Chuang 211022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun