Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Namanya Pak Bintoro

26 November 2019   15:35 Diperbarui: 29 November 2019   15:56 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Siang itu, saat saya sedang dalam perjalanan menuju ke kampus menggunakan TransJakarta, saya bertemu dengan seorang tukang pijat keliling di Halte Busway Bundaran Senayan.

Seorang pria lansia yang memegang tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan, pakaiannya lusuh berwarna biru kehitaman dengan sebuah gantungan yang berisi identitasnya sebagai tukang pijat keliling, lengkap dengan nomor telepon dan kalimat "bayar sukarela" yang juga tercantum bersama.

Kalimat "bayar sukarela" itu sangat menggugah hati saya. Bagaimana mungkin seorang pria lansia berkeliling Jakarta dengan keadaan seperti ini? Dimana keluarganya? Apa setelah perjumpaan kita hari ini ia masih punya cukup pegangan uang untuk perjalanan selanjutnya atau untuk kehidupannya sehari-hari?

Di waktu yang singkat sambil menunggu TransJakarta menuju Blok M, saya pun mendekati dan mengajak bapak tukang pijat keliling tersebut untuk bercengkerama.

Namanya Pak Bintoro. Matanya yang sayu menunjukkan betapa lelahnya ia berjalan luntang-lantung setiap hari.

Ternyata, Pak Bintoro tak punya tempat tinggal yang tetap lagi di Jakarta. Istri dan anak-anaknya meninggalkannya sekitar kurang lebih 10 tahun yang lalu. Karena tak punya rumah dan harta apapun, ia memilih tidur di pinggir halte setiap malamnya. Dan baginya, ia harus tetap melanjutkan hidup dengan mengandalkan satu-satunya keahlian yang ia miliki, yaitu pijat-memijat.

Walaupun pijat-memijat adalah keahlian yang ia andalkan dalam mencari nafkah untuk dirinya, tak jarang ia harus menelan pil pahit akibat sepinya panggilan dari pelanggan. Bahkan, ada beberapa orang yang begitu tega dengan tidak membayar jasanya setelah dipijat.

Di akhir percakapan singkat kami, saya mencoba memberikan sedikit uang tunai yang saya miliki, namun ternyata ia menolak uang pemberian saya. Dengan sedikit terbata-bata Pak Bintoro berkata, "Neng kan gak saya pijat. Saya harus kerja dulu, baru terima uang dari hasil keringat saya. Neng pakai saja uangnya untuk beli buku. Semangat belajarnya, Neng."

Ah, saya menangis. Bukan karena berusaha berbuat baik namun ditolak, tapi karena pendirian Pak Bintoro yang tidak ingin menerima uang jika tidak bekerja dari hasil keringatnya sendiri.

Hari itu saya merasa bahwa sepertinya Tuhan sedang menegur saya sebagai anak muda yang suka mengeluh. Mengeluh tentang lelahnya pekerjaan kantor misalnya, atau tugas kuliah yang menumpuk, atau lain sebagainya yang sering saya keluhkan hampir setiap harinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun