Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Rumah Ibadah yang Berdampingan, Wujud Toleransi Nyata di Kota Kendari

17 April 2022   22:37 Diperbarui: 17 April 2022   22:45 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: antaranews.com

Jika anda berkunjung ke kota Kendari, anda mungkin akan menemukan banyak mesjid yang berdiri sangat berdekatan dengan gereja, ada yang berdampingan ada pula yang saling berhadap-hadapan. Pemandangan itu bukan secara kebetulan, bangunan-bangunan rumah ibadah yang dibangun saling berdampingan ini sudah berdiri dari puluhan tahun lalu, dan itu merupakan kearifan para tokoh agama, pemuka masyarakat dan tentu saja pemerintah daerah di masa itu.

Keberadaan rumah ibadah yang sengaja dibangun saling berdekatan ini adalah pencerminan wujud toleransi yang harus dijunjung tinggi oleh warga masyarakat, kedekatan bangunan rumah ibadah harus pula diikuti oleh kedekatan hubungan antara pemeluknya, dan secara lebih luas bukan saja antara ummat muslim dan umat kristiani saja, akan tetapi juga dengan umat-umat lain.

Sejak puluhan tahun lalu, bangunan rumah ibadah yang saling bersisian dinding dan berhadapan pintu ini belum pernah sekalipun ada friksi atau gesekan, semuanya berjalan normal dan selalu baik-baik saja. Toleransi dan kesaling pengertian ini tumbuh dari kesadaran semua pihak akan indahnya kebersamaan, akan pentingnya arti hidup dalam damai dan saling pengertian.

Salah satu lokasi mesjid dan gereja yang saling berdekatan tersebut ada di lingkungan tempat saya tinggal. Dan saya kebetulan juga merupakan pengurus dari mesjid di lingkungan saya tersebut yang bernama Mesjid Al Muqarrabun, pas di hadapan mesjid di seberang jalan berdiri megah Gereja GPDI Yesus Gembala, dan kurang lebih 50 meter sebelah kanan mesjid juga berdiri Gereja Katholik Santo Clemens, kesemua rumah ibadah ini boleh dibilang rumah ibadah yang cukup besar yang masing-masing memiliki banyak jamaah dan jemaat.

Jika sedang ada kegiatan peribadatan oleh saudara-saudara kami umat kristiani yang tentu saja sangat ramai dengan kendaraan, maka tanpa perlu izin dan lain sebagainya mereka bisa memarkir kendaraannya di tempat parkir mesjid, begitupun misalnya ketika idul fitri atau idul adha, jamaah shalat ied di mesjid kami itu membludak hingga ke jalan dan di halaman gereja sehingga untuk masuk atau keluar dari gereja akan terhambat, namun demikian ini tidak pernah menjadi masalah dan ini dengan senang hati diterima sebagai wujud penghargaan atas sesama saudara yang akan beribadah.

Dan perlu diketahui, sepanjang pengetahuan saya tidak pernah sekalipun kami antar pengurus mesjid dan pengurus gereja melakukan pertemuan khusus untuk membahas apa dan bagaimana aturan-aturan yang harus dibuat terkait kondisi rumah ibadah kita yang saling berdekatan ini. Kami saling percaya, bahwa masing-masing pihak sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dan kondisi seperti ini juga terjadi di tempat-tempat lainnya di Kendari, dimana mesjid dan gereja saling berdampingan tidak perlu ada aturan-aturan yang harus diputuskan bersama antar pengurus, karena semua sudah paham apa yang terbaik bagi kerukunan ini.  

Termasuk masalah Toa yang akhir-akhir ini sempat viral karena penggunaannya dianggap sebagai bentuk intoleransi, padahal itu mungkin hanya perilaku segelintir oknum saja, kami di Kendari khususnya di tempat yang mesjid dan gerejanya saling bersisian dinding dan saling berhadapan pintu hal itu tidak pernah menjadi masalah, pihak mesjid juga sudah tahu apa yang harus kami lakukan agar suara toa tidak menjadi gangguan bagi peribadatan saudara-saudara kami umat kristiani.  

Sejak masih kanak-kanak empat puluhan tahun yang lalu, interaksi kami dengan pihak gereja sudah terjalin, pimpinan gereja GPDI, Pendeta Ambo Sakka, sangat ramah dan familiar dengan anak-anak baik yang muslim maupun yang kristiani, jika hari raya lebaran beliau memberi selamat dan hadiah, begitu juga jika Natalan kami ramai-ramai berkunjung ke kediaman beliau yang kebetulan berada dalam satu bagian dengan bangunan gereja, beliau sendiri yang menyambut dan menerima kami padahal kami ini hanya bocah-bocah, dan orang-orang tua kami tidak melarang kami-kami, karena mereka-mereka juga tahu bahwa Pak Pendeta adalah orang yang penuh toleransi demikian pula sebaliknya.

Yah, ajaran toleransi di kota kami menurut pengalaman saya, telah dibangun sejak kami kanak-kanak, budaya saling mengunjungi saat hari raya sudah terjalin sejak dahulu, jika lebaran idul fitri teman-teman kristiani juga ikut "massiarah" (bertamu), begitu juga jika natalan kami anak-anak muslim pergi "massiarah" ke rumah-rumah teman yang merayakannya, bahkan walaupun bukan rumah kawan kami, yang penting kami lihat di ruang tamunya ada "pohon terang" atau "pohon natal" yang berarti rumah yang merayakan natal maka kami singgah bertamu dan pasti disambut dengan hangat oleh tuan rumah.

Namun karena perkembangan kota yang sedemikian pesat, kini telah banyak berdiri bangunan-bangunan mesjid dan gereja yang telah terpisah dan berjauhan, bukan karena kearifan lama telah ditinggalkan, tetapi semuanya terjadi karena tidak memungkinkan lagi mendapatkan lahan yang tersedia untuk membangun gereja dan mesjid secara berdampingan, namun alhamdulillah nilai-nilai toleransinya masih tetap terjaga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun