Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berani Berhenti Merokok, Apapun Jenisnya

1 Juni 2021   08:51 Diperbarui: 1 Juni 2021   09:24 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merokok telah menjadi kebiasaan bagi banyak orang di seluruh dunia termasuk di Indonesia, dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa merokok itu bukan saja suatu kesia-siaan bagi pecandunya, merokok juga memberikan lebih banyak mudharat daripada manfaat bagi penikmat rokok, tidak saja dari sisi kesehatan tapi juga dari sisi ekonomi dan adab serta etika pergaulan di era sekarang ini dimana banyak orang yang membutuhkan ruang interaksi yang bebas dari paparan asap rokok, baik itu rokok konvensional maupun rokok elektrik.

Menurut data yang dirilis Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah penduduk perokok terbanyak di Asia Tenggara dengan jumlah 53,3 persen perokok. Dimana tercatat kurang lebih 66 persen penduduk laki-laki usia dewasa Indonesia dan 6,7 persen penduduk perempuan merupakan perokok aktif.

Angka perokok anak juga tak kalah sedikit. Menurut Global Youth Tobacco Survei pada 2019, sebanyak 19,2 persen pelajar Indonesia merokok. Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China dengan jumlah perokok usia mulai 10 tahun. Hal ini tentu sangat-sangat memprihatinkan, jika tak segera ditangani, tentunya masa depan generasi muda kita bisa terancam.

Kebiasaan merokok tidak saja membawa pengaruh buruk bagi kesehatan perokok, baik itu perokok yang aktif maupun yang pasif. Dari berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kebiasaan merokok juga sangat mempengaruhi kemampuan ekonomi keluarga miskin yang banyak terdapat di negara berkembang. 

Tentunya diharapkan dengan berhenti merokok akan memberikan peluang yang lebih besar bagi keluarga dengan penghasilan rendah dalam mengalokasikan dan mengatur sumber daya keuangan mereka untuk pemenuhan asupan makanan bergizi bagi keluarga, pendidikan dan upaya memperoleh pelayanan kesehatan.

Kendala utama yang dihadapi dalam kampanye berhenti merokok adalah bahwa berhenti merokok bukanlah sesuatu hal yang mudah dilakukan oleh pencandu rokok. Adiksi atau kecanduan nikotin yang menjadi salah satu faktor kendala berhenti merokok bila dilihat dari aspek fisiologis maupun psikologis. Adiksi nikotin dan tingkat kesulitan untuk tidak menggunakan lagi menempati peringkat pertama jika dibandingkan dengan 4 zat adiktif lain seperti kokain, morfin, kafein dan alkohol.

Nikotin mempengaruhi perasaan, pikiran, dan fungsi pada tingkat seluler. Dalam waktu 4-10 detik setelah perokok menghisap sebatang rokok, nikotin terekstraksi dari tembakau, terbawa masuk ke dalam sirkulasi arteri dan sampai ke otak dan terikat dengan reseptor asetikolin nikotinik (nAChRs). Konsentrasi nikotin meningkat 10 kali lipat dalam sirkulasi arteri sistemik setiap hisapan rokok.

Meski upaya-upaya untuk mengkampanyekan berhenti merokok begitu intens dilakukan, namun sepertinya belum banyak berarti dalam mengurangi jumlah perokok aktif dan mencegah lahirnya perokok-perokok baru. 

Peringatan bahaya merokok dengan mewajibkan pemasangan peringatan dan gambar bahaya merokok di setiap kemasan rokok, menaikkan harga dan cukai rokok, pembatasan ketat iklan rokok, memperbanyak area-area bebas rokok di tempat-tempat publik, termasuk dengan tersedianya tempat-tempat konseling berhenti merokok, tapi semua itu belum berarti banyak untuk menghentikan kebiasaan merokok.

Sebenarnya banyak perokok yang sadar dan punya keinginan untuk berhenti merokok, namun sekali lagi tingkat kesulitan untuk berhenti merokok itu cukup tinggi sehingga banyak yang gagal melakukannya, berhasil satu atau dua hari, tapi begitu terpapar dengan asap rokok sedikit saja, dorongan untuk menghisap rokok akan kembali muncul dan tak tertahankan. Berhenti merokok bukan hanya niat tapi sudah menyangkut berani atau tidak untuk berhenti merokok.

Berdasarkan pengalaman pribadi berhubungan dengan rokok, saya sudah mengenal rokok sejak SD di pertengahan tahun 1970an, tapi waktu itu ketahuan sama ibu dan kena amuk, dicambuk dan dikurung di kamar hingga nangis-nangis.

Namun seiring berjalannya waktu, kenakalan untuk bersentuhan dengan rokok kembali muncul saat SMP, awalnya hanya iseng-iseng lama kelamaan akhirnya saat SMA saya sudah jadi perokok aktif, meski masih sembunyi-sembunyi kalau di rumah dan di sekolah.

Kebiasaan ini muncul karena hampir semua teman bermain juga merokok, dan di lingkungan sekitar, orang-orang dewasa atau kakak senior sering menyuruh kami untuk membelikan rokok, melihat mereka merokok dan terpapar rokok secara pasif yang akhirnya ikutan merokok. Mulanya sebatang rokok dihisap beramai-ramai, lalu mulai membeli sendiri. Kalau tidak punya uang, cari teman yang lagi merokok lalu minta "estafet" atau kami istilahkan juga "steken" yang artinya rokok yang dihisap teman itu diestafetkan untuk kami hisap.

Saya masih ingat satu kejadian, saat saya kepergok bapak sedang merokok, bapak saya sendiri bukan perokok, sejak kecil hingga meninggal dunia tidak pernah merokok. Saya diceramahi habis, dan bapak kasih pertanyaan ke saya.

"Apa untungnya merokok bagi kamu.?" tanya bapak saya.

"Merokok itu mendorong saya untuk mencari uang" jawab saya yang memang tidak tahu apa untungnya merokok itu.
Bapak saya ketawa dan dengan ringan berkata.

"Iya mendorong mencari uang, tapi carinya di dompet bapak, pantas uang sering hilang dari dompet rupanya kamu." Dan saya hanya bisa diam karena akhirnya ketahuan saya yang sering ngambil uang bapak di dompet.

Kebiasaan merokok akhirnya terus menjadi kebiasaan saya, apalagi sejak kuliah yang saya tempuh di perantauan di Kota Malang, saya jadi perokok berat yang dalam sehari menghabiskan 3 bungkus rokok. Sepanjang perjalanan merokok saya, telah berganti-ganti merek rokok, mulai rokok B*****l, Dj***m, G****g G***m, M******o dan terakhir D** s** s**.

Pernah beberapa kali sadar betapa merugikannya merokok dan berniat untuk berhenti merokok, namun selalu gagal dan gagal lagi. Saya merasa kegagalan berhenti ini bukan hanya karena faktor kecanduan saja tapi lebih pada faktor sensasi psikologis, ketika melihat orang sedang menghisap rokok dan menghembuskan asap rokoknya dengan ekspresi yang nikmat, kontan dorongan untuk merokok itu seperti meronta-ronta dan sulit untuk ditahan jika memang tidak berniat bersungguh-sungguh berhenti merokok.

Keinginan untuk kembali merokok juga dipicu oleh kebiasaan saat-saat "ternikmat" dalam menikmati rokok, yang kalau saya itu adalah saat sehabis makan, saat begadang, saat mengerjakan tugas-tugas dan juga saat yang mungkin bagi sebagian orang menjijikkan yaitu saat buang air besar. Ini semua yang menjadi faktor penggagal keinginan berhenti merokok.

Tapi Alhamdulillah, sekarang ini saya sudah lama berhenti merokok yakni sejak tahun 2003 lalu. Setelah kurang lebih 20 tahun menjadi perokok.

Awalnya berhenti merokok cukup sederhana, saya terkena flu berat, batuk-batuk yang cukup menyiksa, kurang lebih sudah tiga hari belum reda juga batuknya, tapi saya masih merokok saja, tapi saya akhirnya bisa sadar bahwa setiap merokok batuk saya semakin menjadi-jadi.

Waktu itu saya masih ingat, akhir-akhir Agustus tahun 2003, saya sedang ditugaskan untuk pembuatan panggung beton tempat akan di pusatkannya peringatan hari ulang tahun Kota Kendari, lembur pengecoran hingga tengah malam, jadi merokoknya lancar tapi membuat semakin batuk dan sangat menyiksa.

Pas rokok habis batuk agak reda sedikit, oleh rekanan kontraktor saya dibelikan rokok dan saya hisap lagi, ternyata batuk kembali parah lagi, saya lalu matikan rokok saya dan mulai menggigit-gigit tembakau rokok dji s** s** yang tanpa filter.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk "berani" mengatakan tidak pada rokok, kalau ada keinginan merokok saya hanya mengambil rokok dan menggigit-gigit tembakaunya saja sambil merasakan rasa tembakau itu. Begitulah tiga hari kemudian batuk saya sudah sembuh, kembali ada keinginan untuk merokok, tapi saya membathin dalam hati sudah tiga hari berhenti dan bisa kenapa saya harus kembali merokok lagi. 

Tidak saya tidak boleh kalah dengan hawa nafsu, saya kembali hanya menggigit-gigiti tembakau rokok saya tanpa membakarnya, ini terus berlangsung beberapa hari bahkan Minggu, sampai rokok yang dibelikan oleh rekanan kontraktor saya itu tersisa tiga batang, berarti sembilan batang rokok saya habiskan dengan menggigit-gigitinya saja.

Dan sejak itu, walau ada keinginan merokok lagi tapi sudah tak sedahsyat dulu lagi, dan telah bisa saya kendalikan dengan satu niat yang kuat bahwa saya bisa berhenti.

Alhamdulillah sudah hampir 18 tahun saya berhenti merokok, meski lingkungan masih menggoda untuk kembali merokok tapi dengan tekad yang sudah bulat saya tidak akan menghisap rokok lagi, karena saya tahu dengan sekali saja kembali menghisap rokok maka pasti akan kembali menjadi perokok dan akan sia-sialah semua perjuangan berat berhenti merokok.

Intinya adalah berhenti merokok itu bukan hanya keinginan atau niat saja, tapi itu membutuhkan keberanian dan tekad yang bulat untuk tidak kalah dengan godaan hawa nafsu merokok. Seberapa pun canggihnya cara dan metode serta usaha kita berhenti merokok kalau tidak disertai tekad bulat yang benar-benar serius, pasti tidak akan berhasil. Tapi jika memang kita telah berani melawan godaan rokok dan membulatkan tekad serta serius, tanpa banyak terapi atau metode berhenti merokok semuanya akan mudah saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun