Mohon tunggu...
Christydar Ayunda
Christydar Ayunda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Halo, saya Christydar Permata Bella Ayunda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apa Maksud Agama sebagai Kategori Sosial?

11 Desember 2023   19:17 Diperbarui: 6 Februari 2024   21:55 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Definisi Empiris, Aspek Sosiologis, dan Institusionalisasi Agama)

Abstrak

Mengkaji agama sebagai kategori sosial, dengan fokus pada definisi empiris, aspek sosiologis, dan institusionalisasi agama. Definisi empiris mengacu pada dimensi agama yang dapat diamati dan diteliti dalam hubungan manusia dengan keberadaan yang melampaui alam manusia. Aspek sosial agama menyoroti hubungannya dengan kebudayaan manusia, mencakup ungkapan religius individu, ungkapan kolektif, dan lambang-lambang keagamaan yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Institusionalisasi agama menjelaskan bagaimana agama menjadi organisasi sosial yang mengatur perilaku individu dalam mencapai kebutuhan dasar yang berkaitan dengan dunia supra-empiris. Mencoba memberikan wawasan tentang agama sebagai fenomena sosial yang kompleks, yang melibatkan dimensi empiris, aspek sosiologis, dan peran institusional dalam konteks masyarakat dan budaya.

PENDAHULUAN

Agama merupakan topik yang menarik untuk dipelajari dalam konteks kategori sosial. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan mengapa memahami agama sebagai kategori sosial adalah penting dan bagaimana ini dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang fenomena agama. Dengan mengkategorikan agama sebagai fenomena sosial, dapat menyempitkan ruang lingkup penelitian. Pendekatan sosiologis dalam memahami agama membantu untuk mendapatkan keterangan ilmiah yang lebih pasti tentang bagaimana agama berperan dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat memengaruhi agama. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang agama sebagai fenomena sosial. Data yang digunakan dalam jurnal ini berasal dari berbagai sumber buku dan telah diolah dalam bahasa yang mudah dipahami. Selanjutnya, akan membahas konsep agama dalam kategori sosial, termasuk definisi empiris, aspek sosiologis, dan peran institusi dalam konteks masyarakat dan budaya.

PEMBAHASAN

  • Definisi Empiris


Istilah "dimensi empiris" dalam konteks agama mengacu pada aspek yang dapat diamati atau dipersepsikan oleh masyarakat[1]. Artinya, ini bukan berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan dengan perilaku manusia yang memungkinkan mereka untuk berhubungan dengan Tuhan. Dimensi ini mencakup elemen-elemen agama yang dapat diperiksa, diamati, dan dianalisis untuk mendapatkan penjelasan ilmiah[2] Hal ini terkait dengan bagaimana masyarakat beragama berinteraksi dalam kehidupan sosial mereka, bukan hanya tentang hal-hal yang dianggap sakral, suci, atau memiliki aspek supranatural.

 

Dimensi empiris juga melibatkan keterkaitan manusia dengan "dunia luar" (the beyond)[3] Ini mencakup hubungan manusia dengan dunia luar tersebut serta bagaimana pandangan mereka terhadap implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, menjelaskan bahwa pengalaman ini melibatkan apa yang disebut sebagai "pengalaman transenden," yang merujuk pada pengalaman sehari-hari yang dapat diamati dan dianalisis secara sistematis melalui metode ilmiah[4].

 

  • Aspek Sosiologis

Agama menyandang aspek sosiologis:

Pertama : agama adalah bagian dari kebudayaan manusia.

Kedua : agama sebagai institusi sosial.

 

Agama, sebagai bagian dari kebudayaan manusia, merangkum pola perilaku yang diikuti oleh penganutnya, baik dalam aspek fisik maupun spiritual[5]. Perilaku keagamaan, baik yang dipraktikkan secara individu atau dalam kelompok, cenderung beragam tergantung pada faktor geografis dan pengaruh kebudayaan di wilayah tersebut. Emilie Durkheim menyatakan bahwa agama adalah sumber yang sangat berharga dalam pembentukan kebudayaan yang maju, sedangkan pandangan Karl Marx menggambarkan agama sebagai bentuk candu yang mempengaruhi manusia[6]. Dari perspektif mereka berdua, agama dapat dipahami sebagai kumpulan aktivitas manusia dan bentuk-bentuk sosial yang memiliki arti penting dalam masyarakat. Keduanya memberikan asumsi tentang agama dalam konteks sosiologisnya masing-masing.

 

Aspek sosial yang terdapat dalam agama dibagi menjadi:

 

1). Ungkapan religius individu.

Ungkapan keyakinan pribadi seseorang yang cenderung dipengaruhi oleh pola kebudayaan tertentu. Dalam situasi permohonan atau doa kepada Tuhan, gaya berdoa seringkali tercermin dalam budaya setempat. Sebagai contoh, cara orang berdoa di daerah Madura berbeda dari cara berdoa di Jawa karena dipengaruhi oleh budaya setempat.

 

2). Ungkapan religius kolektif.

Ekspresi keyakinan yang dilakukan secara bersama-sama tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya suatu bangsa tertentu. Sebagai contoh, upacara bai'at dalam tariqah di Indonesia bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya.

 

3). Simbol-simbol keagamaan.

Dalam konteks simbolisme, terdapat dua elemen penting yang perlu dipahami. Pertama, upaya untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat spiritual atau sakral. Kedua, penggunaan objek atau lambang-lambang tertentu untuk mengilustrasikan konsep tersebut. Sebagai contoh, lambang mata satu (one eye) yang digunakan dalam agama Yahudi.

 

Institusionalisasi Agama

Institusionalisasi agama mengacu pada pembentukan organisasi sosial dalam konteks keagamaan. Sebelum membahas ini, perlu memahami konsep institusi sosial, yang merupakan organisasi dengan struktur tetap yang mengatur perilaku, peran, dan hubungan individu dengan otoritas formal serta hukum untuk memenuhi kebutuhan sosial dasar. Institusi agama juga memiliki sifat serupa, tetapi fokus pada kebutuhan dasar yang terkait dengan dunia spiritual[7]. Institusi agama menyoroti kebutuhan individu akan aspek spiritual, seperti akhirat, dan mendorong pemenuhan kebutuhan ini. 

 

Dalam skala kognitif, nilai-nilai keagamaan ditempatkan pada tingkat tertinggi dalam hirarki nilai, dengan penekanan pada nilai-nilai seperti kebenaran dogmatis yang berasal dari Tuhan[8]. Dalam skala evaluatif, nilai-nilai keagamaan terkait dengan kaidah moral yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan norma proxima, yaitu hati nurani[9]. Agama memberikan jaminan terhadap kelestarian dan pelaksanaan nilai-nilai tersebut.

 

Institusi keagamaan memiliki peran penting dalam memberikan sanksi kepada individu yang melanggar norma-norma moral agama dan bertindak sebagai alat pencegah dan penindas terhadap tindakan yang meremehkan agama. Agama cenderung mempertahankan eksistensinya dan bermanfaat bagi penganutnya melalui evolusi dari organisasi agama primitif yang terintegrasi dengan organisasi masyarakat hingga organisasi agama modern yang memisahkan urusan agama dan urusan dunia profane[10]. Organisasi agama khas berkembang dari pengalaman pendiri dan pengikutnya. Ketika pemimpin kharismatik pendiri agama meninggal, pemimpin baru dipilih untuk menggantikannya dan memimpin komunitas penganut yang baru tanpa menghilangkan jejak pendiri dan pengikutnya.

 

KESIMPULAN

Agama memiliki dimensi empiris yang mencakup aspek yang dapat diamati atau dipersepsikan oleh masyarakat, bukan hanya terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan perilaku manusia dalam konteks kehidupan sehari-hari. Aspek sosiologis dalam agama mencakup ungkapan religius individu, ungkapan religius kolektif, dan simbol-simbol keagamaan, yang dipengaruhi oleh budaya dan konteks sosial.Institusionalisasi agama mencerminkan pembentukan organisasi sosial dalam konteks keagamaan, yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memastikan pematuhan terhadap nilai-nilai keagamaan serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran. Agama perkembangan dari organisasi primitif yang menyatu dengan masyarakat menjadi organisasi agama modern yang memisahkan urusan agama dan urusan dunia profane. Pengembangan organisasi agama didasarkan pada pengalaman pendiri dan pengikutnya, dengan pemimpin yang menggantikan pemimpin kharismatik asal tetap menjaga warisan spiritual mereka. Agama berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral dalam kehidupan mereka. | CPBA

 

REFERENSI

Hendropuspito, Damianus. Sosiologi agama. Penerbit Kanisius, 1989.

O’Dea, Thomas F. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Rajawali, 1985.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun