Belajar Menghadapi Kekalahan
Pengalaman yang paling berkesan justru muncul ketika saya beralih menjadi peserta cubing. Rubik sebenarnya hanya hobi yang saya lakukan di waktu senggang. Saya tidak berlatih secara serius, hanya menjadikannya permainan untuk melatih fokus dan ketenangan.
Namun, ketika bertanding di CC Cup, saya dihadapkan pada peserta yang berlatih dengan sangat serius. Beberapa peserta SMP mampu menyelesaikan cube di bawah 10 detik. Saat itulah saya memahami bahwa kekalahan tidak mengenal usia, status, atau pengalaman.
Kalah dari peserta SMP terasa seperti pukulan bagi ego, tetapi sekaligus menjadi pelajaran berharga tentang kerendahan hati. Saya menyadari bahwa hobi sederhana bagi saya bisa menjadi ladang prestasi besar bagi orang lain. Kekalahan itu menumbuhkan rasa hormat terhadap lawan dan rasa syukur karena diberi kesempatan belajar dari mereka.
 Menang dalam pertandingan hanyalah bonus, tetapi menang atas diri sendiri adalah tujuan sejati.
Krisis Karakter dan Jawaban dari Cubing
Apa hubungan antara kekalahan di arena cubing dan kasus keracunan MBG? Sekilas keduanya tidak berkaitan, tetapi sebenarnya keduanya sama-sama menyingkap kelemahan karakter.
Kasus MBG muncul karena kecerobohan, ketergesaan, dan minimnya rasa tanggung jawab dalam proses produksi dan distribusi makanan. Sementara itu, kekalahan di cubing muncul karena kurangnya latihan, kepercayaan diri yang berlebihan, atau ketidaksiapan menghadapi tekanan. Keduanya menunjukkan satu hal penting, yakni perlunya karakter yang tahan terhadap proses panjang dan tekanan nyata.
Sebagai panitia cubing, saya belajar pentingnya kesabaran dan ketelitian. Sebagai peserta, saya belajar menerima kekalahan dengan lapang dada. Kedua peran tersebut memperlihatkan dua sisi pembentukan karakter yang utuh: belajar memberi dan belajar menerima.
Karakter tidak lahir dari kemenangan, melainkan dari cara seseorang menghadapi kekalahan.
Karakter sebagai Benteng Krisis Zaman