Mohon tunggu...
Christoforus Iuliano
Christoforus Iuliano Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris

saya cukup senang menulis atau mendalami banyak hal. Itu disebabkan saya mencoba untuk memiliki kebiasaan berliterasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stigmatisasi, Siapa yang Menjadi Korban?

24 Februari 2023   08:59 Diperbarui: 24 Februari 2023   09:18 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Harian Kompas, Senin (13/2/2023), mengangkat tema yang selama ini rasanya tak pernah ter-exspose yakni Beban Berganda Anak Narapidana Terorisme. Selama ini, publik hanya terfokus pada proses penanganan kasus terorisme yang terjadi serta mengenang dan mendoakan korban yang tewas pada saat kejadian perkara. Tentu itu proses awal yang baik yang perlu publik ketahui dan lakukan.

Namun, dalam hal ini korban tidak hanya orang-orang yang tewas serta dirugikan dalam saat kejadian perkara entah bom bunuh diri atau tembak-menembak, tetapi juga keluarga secara khusus anak dari terpidana terorisme tersebut yang masih hidup. Selain mereka kehilangan orang yang mereka cintai, mereka juga kehilangan kepercayaan dari banyak orang serta mendapatkan stigmatisasi tertentu.

Secara logika mereka tak banyak tau dan mengerti apa yang dibuat oleh orang tua mereka. Mereka hanyalah anak yang dalam budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi sopan santun serta mengamalkan amanat dan perintah dari orang tua. Mereka adalah orang-orang yang masih harus terus hidup walaupun teralienasi dari masyarakatnya.

Dalam artikel tersebut, hanya 0,4% responden yang merasa bahwa keluarga narapidana terorisme tersebut tidak perlu dilakukan penanganan apapun. Ini berarti sebagian besar masyarakat terbukti merasa bahwa keluarga narapidana tersebut perlu untuk dibantu. Ini membuktikan bahwa sebetulnya publik merasa iba dan sangat ingin membantu keluarga para narapidana tersebut, namun mereka takut untuk mendapatkan stigma dari masyarakat lainnya. Stigma melumpuhkan seseorang untuk bergerak sesuai hati nurani mereka masing-masing.

Stigmatisasi Tanda Kedangkalan

Stigmatisasi memang merupakan suatu hal yang sangat mudah muncul bahkan tanpa dasar yang jelas. Stigmatisasi melumpuhkan mental keluarga narapidana terorisme, tetapi sekaligus melumpuhkan seseorang untuk mau bergerak mendengarkan suara hati mereka.

Menurut KBBI, Stigma lebih diartikan berciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Orang yang mudah menstigma tidak mau menggali lebih dalam terhadap apa yang ia stigma. Algortima pasti satu tambah dua harus tiga menjadi dasarnya tanpa melihat lebih dalam dari banyak perspektif. Tntu ini merupakan akar dari sebuah kedangkalan berpikir.

Hal ini juga dipengaruhi oleh budaya modern yang mengedepankan like and dislike dalam waktu yang cepat. Semua diakses dengan sangat cepat apalagi kalau konten berisi berita atau sesuatu yang sebetulnya penting untuk dibaca. Berbeda jika konten yang dibuat merupakan konten hiburan tanpa esensi jelas, pasti akan dilihat berkali-kali bahkan akan cepat untuk viral.

Apalagi bagi pihak-pihak dalam lingkaran peristiwa yang sangat merusak persatuan bangsa salah satunya terorisme. Orang enggan untuk mengenal dan melihat lebih jauh keluarga para narapidana tersebut. Apa yang dilihat dan diurusi bukan sesuatu yang penting yang ada disekitar mereka, tetapi apa yang mereka kusukai walaupun itu hanya suatu sarana hiburan belaka. Ini menjadi budaya masa kini yang patut untuk terus dimurnikan dengan sebuah kekritisan. Kekritisan yang dimaksud bukanlah kekritisan yang muluk-muluk, melainkan kritis untuk berani melihat, menyapa, menghadapi suatu realita disekitar. Tentu butuh usaha yang lebih ekstra untuk melakukan hal ini di tengah situasi individualisme yang merebak.

 

Mengandalkan Sentuhan Pemerintah

Dalam perjalannya, Indonesia juga pernah beberapa kali membuat sebuah peristiwa yang menyisakan stigma bagi banyak pihak diantaranya peristiwa PKI tahun 65 dan  yang baru saja terjadi yakni anak-anak dari terdakwa Ferdi Sambo dan Putri Candrawati yang tergolong masih belia.

Mereka adalah orang-orang yang perlu dibantu untuk dapat meraih cita-cita mereka serta menjalani hidup dengan tenang. Stigmatisasi bagi masyarakat yang dianggap PKI pada Peristiwa 65 yang sudah terjadi 58 tahun yang lalu masih ada hingga saat ini. Hal tersebut menjadi bukti bahwa stigma masih tetap ada puluhan tahun setelah peristiwa perkara terjadi.

Pada akhirnya, banyak penanganan dilimpahi pada pemerintah. Pemerintah berperan penting memberikan sarana-sarana bagi mereka untuk bisa hidup seperti masyarakat lainnya. Tak hanya soal rehabilitasi atau bantuan materi lainnya, tetapi juga menggerakan masyarakat untuk mendengar suara hati mereka agar ikut serta dalam membantu para keluarga narapidana tersebut. Mereka diajak untuk memberdayakan bakat dan keahlian yang mereka miliki.

Melunturkan stigma dari pihak luar tentu tak mudah. Butuh proses dan waktu yang cukup panjang. Namun, kekuatan kepercayaan diri dari dalam diri orang-orang yang terstigma inilah yang harus terus dibangun. Terkadang penderitaanlah yang mendorong seseorang untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi pribadi yang berkembang serta independen. Itulah yang menjadi jati diri bangsa kita dalam perjuangan meraih kemerdekaan yang independen.

Waspada Menjadi Korban Utama

Point terakhir yang dapat digali pula yakni kesadaran bahwa korban pertama dan utama dari setiap perkara yakni pelakunya sendiri. Dalam kenyataannya para narapidana terorisme pun  merupakan korban doktrinasi dari kelompok radikal. Para narapidana rata-rata merupakan orang yang dalam kesehariannya baik, sopan, taat dan memiliki rasa sosial yang tinggi. Tentunya orang-orang seperti itu dipilih agar tidak begitu dicurigai jika mereka bergabung dan mendapat doktrin dari kelompok radikal yang tak sebetulnya mencoreng nama baik kelompoknya sendiri.

Pada peristiwa 65, para pelaku pembunuhan orang-orang tak bersalah yang dianggap PKI pun merupakan korban dari para penguasa yang punya kepentingan. Mereka sebagian besar bergabung pada gerakan pemuda pancasila yang memiliki embel-embel memperjuangkan Pancasila dengan menumpas banyak nyawa.

Ini pula yang perlu diwaspadai oleh banyak pihak. Kekritisan dalam bersosialisasi juga perlu untuk dibangun. Jangan sampai, kedepan banyak orang yang harus menjadi korban dari pihak-pihak tak bertanggung jawab yang memiliki kepentingan mereka masing-masing. Masyarakat diajak untuk selalu waspada dan berani untuk berkata tidak pada apa yang dapat merusak martabat bangsa dan segala isinya. Tak ada kompromi untuk hal-hal tersebut. Tak ada kedok-kedok yang dapat menutupi segala kebusukan tersebut. Keberanian untuk menegakan kebenaran walaupun terkadang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan perlu dibangun. Bangsa ini perlu pahlawan-pahlawan baru yang dihargai karena sungguh berkorban, bukan pahlawan yang gila nama dan kekuasaan.

Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mencegah terpengaruhnya masyarakat Indonesia oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, peka serta menindak secara tegas perkara yang ada  dan melindungi serta membantu keluarga narapidana bahkan mantan narapidana untuk bisa mendapatkan hak diakui di masyarakat dengan baik tanpa adanya kecurigaan.

Salam VESPA - VEritatem Sequentes Perseverantia Adiuvat yang dalam bahasa Indonesia berarti Keberanian yang membantu dia yang mencari kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun