Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Kopi dan Udud Pagi Bersama Pak Bambang

17 Oktober 2011   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_136228" align="aligncenter" width="309" caption="from google"][/caption] Masih pagi. Kopi di cangkirku juga masih separuh lagi. Sebuah sedan mercy hitam mulus berhenti. Tepat di depan rumahku yang masih sepi. Dua pria kekar, bersafari hitam.Mengetok pagar. "Selamat pagi", mereka sopan tapi tegas " Pagi", ku buka pagar rumah karatanku. " Pak Chris Suryo kan?" " Ya, betul. Ada apa ya?" " Bisa segera ikut kami Pak?" " Kemana?" " Ke Cikeas Pak. Pak Bambang pengin ketemu". " Hah?, ngapain?" " Penting nggak penting sih Pak. Tapi dimohon sekali" " Oke deh" Aku segera pamit anak istri. Dengan ekspresi bengong mereka yang nggak ngerti. "Siapa mereka Yah?" "Pengawalnya temenku. Aku pergi dulu ya?" " Ya udah, ati-ati" Di dalem sedan ini nyaman sekali.Apalagi nggak harus nyetir sendiri. Tak sampai dua jam sudah sampai ke rumah megah itu. Rumah Pak Bambang. Buset, pengawalnya berjibun banyak sekali. Gagah dan tegap. Safari hitam, kacamata hitam dan raut muka kelam. Tapi nggak ada cewek cakep di sini. " Silahkan Pak Chris. Bapak sudah menunggu" " Oke. Siap", aku sok gagah berwibawa Menuju pendopo. Ada protokoler lagi. Ah ribet amat memenuhi undangan ini. " Maaf Pak. Sepatunya di lepas" " Harus dilepas?" " Iya pak. Udah aturannya. Nggak papa kan Pak?" " Nggak papa sih. Tapi aku malu". "Malu kenapa Pak?" " Kaus kakiku pada bolong jempolnya" "Ohhh..., gitu ya pak,...ya udah lepas saja sekalian kaki-kakinya" "Hahhhh!" "Kaus kakinya maksud kami. Maaf Pak. Silahkan Pak". Akhirnya nyeker juga. Pak Bambang sudah tersenyum simpul menunggu. Matanya sayu lelah tapi tidak kelabu. Dengan pede aku salami dia. Duduk dengan berani. " Apa kabar Mas Chris", suaranya antep " Baik Pak Bambang. Kabar Bapak gimana?" " Yahhh, beginilah. Baik kok..baik" Protokoler datang lagi. Membawa dua cangkir kopi. Sopan sekali. Ah, agak jengah aku. Kenapa menjadi formil begini. " Maaf Pak Bambang, ada yang penting banget? Pake manggil Saya ke sini?" " Ah..nggak juga. Cuma pengin ngopi bareng. Mas Chris suka kopi kan?" " Kok Bapak tahu? curaaang yaa?...eh..pake intel ya?" " Nggak juga. Dari posting-postingmu di Kompasiana aku tahu. Kamu suka ngopi, rokok, dan suka gambar bugil kan?" " Ah, enak saja. Ngopi dan rokok itu bener. Tapi yang bugil-bugil itu kan isinya opini?" " Haalah, sudahlah. Monggo diminum kopinya". " Boleh ngrokok?" " Boleh..boleh. Santai aja Mas". Kopi yang pasti mahal itu ku sruput. Ah, biasa saja rasanya. Malah terlalu manis. Ku sulut rokok kesayanganku. Dari tadi memang sudah kecut bibir ini. Dan..bull...bul. Mantep, nglepus di rumah Pak Bambang. " Ehm. Enak ya. Minta sebatang dong Mas..", rupanya Pak Bambang jadi pengin. " Bapak ngrokok juga?" " Ngliat kamu ngrokok, kayaknya nikmat betul...nyicip aja". " Silahkan. Tapi satu aja Pak. Jangan banyak-banyak. Denger-denger habis operasi jantung kan?" " Iya, tenang aja. Lagian rokokmu memang tinggal sebatang kok". "He..he..iya ya. Ya udah habisin aja lah". Dia menyulut juga rokok itu. Tidak batuk. Wasis juga. Terlihat sangat menikmati. Seperti Saya. Sejenak diam. Di jeda dengan suara bibir kami. Menyeruput kopi pagi ini. Akhirnya dia yang mulai lagi. " Gimana kabar Kompasiana?" " Ah, biasa aja Pak. Banyak tulisan bagus di sana". " Yang lagi ngetrend apa tuh?" " Yah. Apalagi kalau bukan resaffel Menteri". " Gimana komentar-komentar mereka?" " Ah. Ya jelas rata-rata sebel dengan ketidakpastian itu. Apalagi rencana nambah-nambah wakil menteri segala". " Kenapa sih?" " Banyak yang bilang Pak Bambang plin-plan. Punya prerogratif tapi masih takut-takut. Pemborosan APBN..lah" " Ha..ha..ha. Terus menurut kamu sendiri gimana?" " Ya kalo menurut Saya sih. Harusnya Presiden tegas. Demi Rakyat nggak usah takut-takut lah. Nggak usah mikir maunya Parpol. Parpol itu kan munafik-munafik. Katanya menghargai Hak Prerogratif, tapi masih klesak-klesik blingsatan" " Hm..begitu Mas?" " Kalo menurut saya sih begitu. Kalo menurut Pak Bambang sendiri gimana?" " Yaaah. Kalo menurut Saya sih. Nggak semudah itulah. Dua ratus juta lebih mulut. Dengan kepentingan, keinginan, kemauan, sambatan dan lain-lainnya. Ya memang perlu hati-hati" " Iya sih, tapi memang kesannya jadi bikin seperti mempermainkan rakyat gitu lo" " Ah, itu sih karena jaman sekarang banyak yang ambil kesempatan untuk menciptakan kesan" " Siapa? Media...maksud Bapak?" Pak Bambang nggak jawab. Tangannya malah sibuk matiin puntung rokok itu. Menyeruput kopi lagi. " Mas Chris sendiri. Nggak ikut-ikut tren nulis Resaffel?" " He..he..Udah banyak yang pinter Pak. Saya sih cetek.  Malah sekarang lebih suka mangkal di dunia fiksi Pak" " Di dunia Fiksi gimana, asik juga?" " Asik sih, tapi lama-lama minder juga. Banyak sastrawan hebat di sana". " Lah, terus kamu ini sebenernya penulis tipe apa?" " He..he.., tipe menulis yang wudo-wudo aja kali Pak..he...he". " Ha..ha...dasar kucing!" Menjelang siang. Saya berpamitan. Dianter para pengawal sampe tempat terdekat. Dimana ada ojek yang mangkal. By: Wakilnya wakilnya wakilnya wakilnya Wakil Blogger..

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun