"Eh sapu tanganku tadi ketinggalan di ruangan Rini. Kuambil atau tidak ya? Ah gak usah, takutnya nanti ada drama lagi. Ada peluk-pelukan lagi, trus aku terangsang padanya dan bla bla bla. Drama lagi, cape deh. Eh, ada satu lagi yang aku lupa. Aku tadi lupa cium bau ketek Rini, hahaha.
Aku menatap wajah Rini yang kini memerah menahan emosi. Ia tampak tegang dengan nafas tertahan. Rini diam saja, tidak tahu harus berkata apa. Keangkuhan dan kesombongannya yang tadinya menyala-nyala kini berganti, membuatnya menjadi sosok tak berdaya. Harga dirinya tersobek, ia tak mampu berkata barang sepatah katapun.
Rini tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Ternyata Ia selama ini terlalu menganggap remeh Ricky dan kini ia merasa sangat malu. Ricky yang sekarang ternyata sangat jauh berbeda dengan Ricky yang dikenalnya dulu ketika mereka masih berpacaran. Harga dirinya terhempas seperti selembar kertas tipis yang melayang di hadapan Ricky.Â
Ternyata bukan hanya dulu saja, bahkan ketika ia sekarang sudah menjadi Wakil Direktur dan menjadi atasannya, ia tetap bukan siapa-siapa bagi Ricky. Ia memang tidak pernah menjadi bagian dari rencana hidup Ricky.
Rini hanya diam mematung tak berdaya ketika aku kemudian berkata kepadanya, "Permisi bu Rini, selamat siang"
"Rick..." tanpa sadar Rini memanggilku.
Aku lalu berbalik menatapnya. Tatapan matanya sangat jauh berbeda dengan tatapan ketika aku masuk ke ruangannya tadi. "Riinn.." Aku tanpa sadar menyebut namanya dengan cara panggilan khas-ku dulu.
"Hmmm, Riinn... aku minta maaf sama kamu ya kalau semuanya harus berakhir seperti ini. Aku juga minta maaf untuk semua kesalahanku dulu waktu kita masih bersama-sama. Aku selalu mengecewakan kamu, aku sering menyakiti kamu, aku sering membuat kamu nangis. Aku berutang banyak maaf darimu. Maafin aku ya."
Rini menatapku dalam diam. Tatapan matanya persis seperti Riniku dulu ketika ia merajuk saat aku bandel lalu kemudian meminta maaf padanya. Namun kini aku melihat dua butiran air mata di ujung bola matanya. Aku segera meraih sapu tangan dari saku lalu menghapus dua butiran air mata itu dari bola mata indahnya. "Maafin aku ya Rin."
Rini segera meraih sapu tangan itu dari tanganku, lalu melap kelopak matanya yang basah. Ia mengangguk pelan, lalu memelukku erat. "Iya deh, aku maafin kamu. Kamu juga maafin aku ya.." Katanya lembut di telingaku sambil menepuk-nepuk punggungku.
Duh mak nyak! Hatiku lega bukan kepalang. Dulu kata kang Jajang, pakar perserabian itu, "seribu selingkuhan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak." Eh diralat dulu, "seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak."
Suasana tegang di awal pertemuan kini berubah menjadi penuh persahabatan.
"Ya sudah, saya izin pamit dulu ya bu. Terima kasih banyak untuk segala perhatian dan supportnya, selamat siang Bu Rini, have a nice day."
"Bangke! Udah cepeten pegi, bosen gue liat tampang elo, haha"
Astaganaga! Belum pernah Rini berbicara padaku dengan gaya begitu. Kalau kepada teman-temannya memang sering begitu. Aku berpikir sambil menutup pintu ruangan Rini. Berati aku kini sudah menjadi teman baginya, hehehe.
Eh sapu tanganku tadi ketinggalan di ruangan Rini. Kuambil atau tidak ya? Ah gak usah, takutnya nanti ada drama lagi. Ada peluk-pelukan lagi, trus aku terangsang padanya dan bla bla bla. Drama lagi, cape deh. Eh, ada lagi yang aku lupa. Aku tadi lupa cium bau ketek Rini, hahaha.