Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Polemik Harga dan Cukai Rokok di Indonesia

24 September 2025   19:10 Diperbarui: 26 September 2025   00:39 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rokok. (Thinkstock via Kompas.com)

"Saya tanya, kan, cukai rokok gimana? Sekarang berapa rata-rata? 57%, wah tinggi amat, Firaun lu,"(Purbaya, Menkeu)

Sembilan tahun lalu penulis membuat artikel di Kompasiana terkait wacana kenaikan harga rokok menjadi rata-rata Rp 50.000/bungkus. Isu ini berhembus berbarengan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mengemukakan keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok. Kenaikan harga rokok diharapkan bisa mengurangi konsumsi rokok.

Benarkah dengan menaikkan harga rokok akan mengurangi secara drastis jumlah perokok?

Perokok akan tetap merokok sekalipun harga rokok tersebut dinaikkan. Mungkin jumlah rokok yang dihisap akan berkurang, akan tetapi perokok pasti akan tetap merokok! Kalau harga rokok terlalu tinggi, maka orang akan mencari alternatif lain, dan itulah yang terjadi saat ini. Di pasaran kini beredar rokok illegal yang harganya lebih murah.

Rokok illegal itu ada dua, rokok impor (seludupan) dari luar negeri dan rokok skala home industri dalam negeri. Kedua-duanya tidak membayar cukai dan pajak. Selain merugikan produsen rokok beserta karyawannya, rokok illegal juga merugikan konsumen karena tidak punya standar kualitas, yang bahkan bisa membahayakan jiwa perokok.

Setiap tahun pemerintah selalu menaikkan CHT (Cukai Hasil Tembakau) Alasannya sih klasik, yaitu untuk menekan konsumsi rokok. Apapun itu, yang jelas penerimaan cukai CHT ini pada 2024 diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 triliun, atau sekitar 9--10% dari total penerimaan APBN.

Akan tetapi untuk tahun 2025 ini penulis hakul yakin kalau angka perolehan CHT ini akan menurun. Apa sebab? Contohnya bisa kita lihat pada perusahaan raksasa Sampoerna dan Gudang Garam yang saat ini kelimpungan karena omset yang turun drastis! Kalau raksasa saja tumbang, lantas bagaimana dengan perusahaan kelas menengah dan kelas bawah?

Sebenarnya bukan hanya pada saat ini saja rokok illegal beredar. Lima belas tahun lalu, ketika penulis masih merokok, penulis menemukan "Mail," (Marlboro Light) made in China yang harganya cuma setengah harga resmi produk Marlboro lokal. Rasanya memang kurang enak. Kata abang penjual rokoknya, "Ada rupa ada harga. Yah mirip-mirip beda Lady Gaga dengan Ladyboy, walaupun rasanya beda, tapi yang penting sama-sama ada Lady-nya mase."   

sumber : https://www.pajak.com/storage/2023/12/51911698074_171a505a1b_b.jpg
sumber : https://www.pajak.com/storage/2023/12/51911698074_171a505a1b_b.jpg

Ketika penulis masih SMA, dan lagi belajar merokok, penulis juga menemukan "Mail," (Marlboro Light) soft pack ori made in Richmond, Virginia, Amerika Serikat. Harganya nyaris dua kali lipat dari harga Marlboro lokal. Kata abang penjual rokoknya, "Ini baru rokok laki! Lo kalau mau terlihat keren di tongkrongan, yah rokoknya cuma ini bos!" Jiwa muda penulis seketika bergetar.

Pertanyaan pentingnya adalah, ketika pemerintah "menjarah" pabrik rokok senilai Rp200 triliun lewat CHT, mengapa pemerintah "membiarkan" rokok illegal ini beredar? Padahal selain tidak membayar cukai dan pajak kepada pemerintah, rokok illegal ini juga nyata-nyata "membunuh" kelangsungan hidup pabrik rokok beserta karyawannya.

Dari sisi ekonomi, industri rokok menyerap jutaan tenaga kerja. Data Kementerian Perindustrian mencatat ada sekitar enam juta orang yang bergantung pada sektor ini. Baik secara langsung (pekerja pabrik) maupun tidak langsung (petani tembakau dan cengkeh, pedagang, hingga distribusi) Oleh karena itu, kebijakan cukai rokok tidak hanya menyangkut kesehatan, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi secara luas.

Dari aspek sosial, saat ini terjadi pelambatan ekonomi secara regional dan global, yang berakibat kepada naiknya angka pengangguran. Hal yang sama juga sudah menimpa industri rokok sejak tahun lalu. Jika hal ini dibiarkan terus (kenaikan CHT pada pabrik rokok setiap tahun plus peredaran rokok illegal) maka angka pengangguran nasional justru akan bertambah, yang pada akhirnya akan memberi tekanan sosial kepada pemerintah.

Maaf, pemerintah terkesan hipokrit! Pemerintah mau "duit haram" dari cukai tembakau, apalagi bayarnya di depan sebelum rokok tersebut dijual, atau bahkan sebelum rokok tersebut diproduksi! Namun di sisi lain pemerintah justru membiarkan industri rokok sekarat dihajar rokok illegal yang justru tidak membayar cukai dan pajak kepada pemerintah.

Rumor beredar, beberapa "oknum" terlibat kongkalikong dengan produsen/importir rokok illegal untuk melakukan pembiaran peredaran rokok illegal ini.

Sebenarnya bukan hanya pada industri rokok saja perlakuan hipokrit penguasa ini berlaku. Bahkan ketika para "pahlawan devisa," pekerja migran yang pulang ke tanah air setelah kontrak kerja usai, mereka dibiarkan dibegal oknum, justru pada saat baru tiba di bandara Indonesia!

Informasi terbaru nilai cukai rokok semester I 2025 kini mencapai Rp 121,98 triliun, tumbuh 9,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Nah, berarti kenaikan cukai rokok tadi ternyata tidak berpengaruh terhadap penerimaan negara. Buktinya nilainya naik kan?

Jadi begini sodara-sodara, pabrik rokok membuat Rencana Produksi Rokok (RPR) semester I 2025 pada akhir 2024. Setelah itu mereka kemudian memesan dan membayar Pita Cukai Rokok sesuai dengan RPR tadi.

Nah lu, ternyata penjualan rokok semester I 2025 babak belur, padahal pita cukai sudah dibayar semuanya. Kini stok rokok dan pita cukai yang belum ditempelkan ke rokok pun menumpuk di gudang.  Akibatnya pabrik rokok pun mengurangi produksi. Otomatis tembakau dan cengkeh petani pun tidak terserap pabrik rokok karena stok tembakau dan cengkeh di gudang juga masih menumpuk.

Nah, pemesanan pita cukai rokok pada semester II 2025 pastilah akan "jauh panggang dari api," tersebab stok pita cukai rokok pun masih banyak di gudang. Rasanya target penerimaan cukai tembakau tahun ini pun akan meleset dari sasaran. Dampaknya tentu saja terhadap APBN, dimana cukai rokok menyumbang 10 % ke APBN. Jangan lupa juga kalau cukai rokok ini menyumbang 1 % bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

***

Dari perspektif kesehatan masyarakat, rokok adalah ancaman serius. Beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok juga sangat besar. Oleh karena itu, dari sudut pandang kesehatan, kenaikan harga rokok melalui cukai bukan hanya soal penerimaan negara, melainkan juga sebagai strategi pengendalian konsumsi rokok. Kekhawatiran terbesar adalah meningkatnya prevalensi perokok anak.

Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi perokok usia 10--18 tahun terus naik dari tahun ke tahun. Selain perokok anak, jumlah perokok perempuan juga terus bertambah.

Hal ini bisa dianggap sebagai kegagalan regulasi kenaikan cukai rokok tadi, karena rokok ternyata tetap mudah diakses oleh anak-anak dengan harga terjangkau.

Artinya perokok pemula (anak-anak dan perempuan) cukup nyaman dengan "rokok kualitas rendah" (tapi harganya murah) bila dibandingkan dengan perokok berat yang fanatik pada merk dan jenis rokok tertentu (tapi harganya naik setiap tahun).

Jadi sekilas, sasaran tembak regulasi cukai rokok ini adalah bagi para perokok berat, agar lewat kenaikan harga rokok, mereka ini bisa melakukan "taubat nasional" untuk mengurangi konsumsi rokok, syukur-syukur bisa berhenti merokok. Tanpa disadari, regulasi ini juga berdampak bagi industri rokok dengan enam juta jiwa pekerja yang terlibat di dalamnya.

Di sisi lain, kenaikan prevalensi perokok pemula (anak-anak dan perempuan) ternyata membuktikan kalau regulasi cukai ini tidak terlalu berdampak bagi mereka. Hal ini salah satunya disebabkan oleh maraknya peredaran rokok illegal yang harganya lebih murah.

Berarti masih diperlukan beberapa regulasi lagi untuk menekan kenaikan prevalensi perokok pemula. Misalnya saja "kebijakan bebas asap rokok di sekolah." Di mana guru-guru juga tidak boleh merokok di lingkungan sekolah, atau setidaknya sekolah menyediakan "smoking room" khusus bagi guru, yang tidak terlihat oleh murid.

Peraturan tidak boleh menjual rokok bagi remaja di bawah 18 tahun misalnya, termasuk juga peraturan "Tidak Boleh Merokok" bagi remaja di bawah usia 18 tahun. Jadi batas usia minimum merokok ini mirip dengan batas usia untuk mengemudikan kenderaan bermotor di jalan raya. Dan mungkin masih diperlukan regulasi tambahan untuk menekan prevalensi perokok pemula ini.

***

Menkeu Purbaya baru-baru ini sangat serius menyikapi polemik CHT ini. Beliau lalu bertanya kepada stafnya perihal CHT ini. Purbaya merasa ada yang tak pas dalam mendesain kebijakan kenaikan CHT selama ini, yakni tidak memikirkan tenaga kerja yang selama ini mencari nafkah. Sebab, mendesain kebijakan CHT untuk menekan konsumsi tapi tidak memberi jaminan lapangan kerja baru bagi para pekerja terdampak, termasuk juga para petani tembakau dan cengkeh.

"Apakah kita sudah buat program untuk memitigasi tenaga kerja yang menjadi menganggur? Programnya apa dari pemerintah? Enggak ada. Loh kok enak? Kenapa buat kebijakan seperti itu? itu diskusinya di sana," ujar Purbaya. Oleh sebab itu, ia memastikan, di bawah kepemimpinannya kebijakan CHT akan lebih seimbang, antara menjaga sisi kesehatan dengan mengendalikan konsumen, tapi tidak mematikan industrinya yang selama ini menjadi tempat lapangan kerja.

"Kalau gitu, nanti kita lihat. Selama kita enggak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang nganggur, industri itu enggak boleh dibunuh, itu kan hanya menimbulkan orang susah aja, tapi memang harus dibatasin yang ngerokok itu. Namun, tidak melulu dengan kebijakan tarif yang tinggi melalui pengenaan cukai," ucapnya seperti dilansir dari cnbcindonesia.com

Untuk meramu secara kongkrit kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) untuk 2026, Purbaya akan segera meninjau langsung kondisi industrinya dalam waktu dekat. Selain itu, ia juga memastikan akan terus memberantas peredaran rokok ilegal, termasuk menegaskan kebijakan pelarangan peredaran rokok ilegal secara daring. "Karena enggak fair kan kita narik ratusan triliun pajak dari rokok sementara mereka enggak kita lindungi marketnya, kita membunuh industrinya," tuturnya.

Semoga saja Purbaya bisa mencarikan solusi yang pas bagi industri rokok dengan enam juta jiwa yang bergantung kepada industri ini, sekaligus juga bisa mengurangi jumlah prevalensi perokok.

Selamat bekerja Pak Purbaya, sukses selalu  

referensi,

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1813899/purbaya-panggil-penyedia-marketplace-minta-singkirkan-rokok-ilegal

https://www.cnbcindonesia.com/news/20250922061943-4-668911/sempat-kaget-sebut-firaun-ini-arah-kebijakan-cukai-purbaya

https://www.kompasiana.com/chokky/57bd9934c122bdf019a7eaf9/blunder-kenaikan-harga-rokok

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun