Selepas T5 Borgo San Lorenzo, Marc sudah di P3 menguntit adiknya, Alex Marquez.
Awal lap ke-2, persis menjelang T1 San Donato, Marquez bersaudara kemudian melakukan serangan keras kepada Pecco dari sisi kiri dan kanannya. Jelas ini sudah direncanakan.
Pecco yang tadinya sudah pede, kini gelagapan ketika di-sandwich. Late brake di T1 masih bisa menahan serangan Marc yang agak lemah di tikungan ke kanan.
Namun Pecco tidak bisa menahan Alex yang kemudian mengasapinya. Kepercayaan diri Pecco yang tadinya tinggi seketika runtuh! Cakram rem besar yang dibanggakan itu praktis hanya mumpuni di T1 saja, yakni selepas garis start/finish di mana kecepatan bisa mencapai 320 km/jam, lalu memasuki tikungan ke kanan T1 dengan kecepatan maksimal 90 km/jam saja.
Selain tikungan T1 itu, tikungan T2 hingga T15 bisa dilibas dengan kecepatan di atas 110 km/jam. Jadi rem cakram besar itu sebenarnya tidak begitu berarti mengingat pembalap tidak banyak melakukan hard-brake. Itulah sebabnya semua pembalap lain masih memakai cakram rem standar saja.
Apapun itu, persoalan Pecco bukan terletak pada rem, fairing apalagi tangki bensin yang selalu dikeluhkannya itu.
Persoalan Pecco justru berada pada dirinya sendiri. Ia butuh bantuan psikologi untuk menemukan kepercayaan dirinya kembali.
Kehadiran Marc Marquez di tim Lenovo Ducati jelas-jelas membuat penampilan Pecco semakin buruk. Apalagi kini mereka berdua memakai mesin dan chasis yang sama, GP25
Tahun lalu Pecco masih terlihat santai karena ia memakai Ducati GP24 pabrikan, sedangkan Marc memakai Ducati GP23 bekas tim satelit milik Johann Zarco.
Mengajak Marc ke tim pabrikan Ducati jelas merugikan Pecco. Akan tetapi Ducati tidak bisa juga dipersalahkan. Tahun lalu Pecco 11 kali menjuarai balapan MotoGP dan ia gagal menjadi juara dunia, ditelikung Jorge Martin yang hanya meraih 3 kemenangan bersama Ducati GP24 juga.
Pecco kalah mental dari Martin karena ia tidak konsisten dan sering melakukan kesalahan.
Sementara itu Ducati perlu pembalap bermental juara yang tidak tergantung kepada kecanggihan motor saja, maupun “good-mood” ketika membalap. Pilihan akhirnya jatuh kepada Marc Marquez, sang legenda.
Lantas, apa yang harus dilakukan Pecco agar ia bisa bangkit kembali?