Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hoping to be Part of You

16 April 2021   02:55 Diperbarui: 16 April 2021   03:05 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun lalu Hendra diputuskan pacarnya, Mitha. Perpisahan ala ghosting itu membuatnya terpukul sehingga ia kemudian mengalami gangguan mental. Namun masa-masa berat itu sudah berlalu. Setelah dua tahun terapi rutin bersama seorang psikiater bernama dr. Andre, Hendra kemudian berhasil move-on. Ia kini bersiap melupakan masa lalu dan mulai menatap masa depan yang baru baginya. 

Hendra baru saja memasuki ruang tunggu praktek dr. Andre. Sebenarnya ia belum membuat janji bertemu. Pertemuan terakhir mereka sekitar dua bulan lalu. Tidak ada masalah yang mengganggu pikirannya. Bahkan obat alprazolam sudah dua minggu tidak disentuhnya. 

Mungkin sebaiknya tidak usah dimakan lagi. Namun ia teringat akan pesan dr. Andre, bahwa obat jenis tranquilizer tidak boleh langsung diberhentikan seketika. Harus dilakukan tapering-of pada obat tersebut, untuk menghindari efek samping gejala Putus obat seperti orang sakaw misalnya. Jadi itulah keperluannya bertemu dengan dr. Andre, karena ia tidak ingin mengkonsumsi obat tersebut lagi.

Seketika matanya terbelalak ketika melihat seorang wanita, dan satu-satunya manusia di ruang tunggu tersebut. Itu Mitha! Mata mereka segera beradu pandang. Oh, mungkin bukan Mitha, cuma mirip Mitha saja. Atau jangan-jangan Mitha, tapi ia berpura-pura seperti bukan Mitha!

Duh, jantungnya berdegub keras. Keringat dingin mulai menetes di rambutnya. "Duh, seharusnya obat tetap saja dimakan supaya gak bingung" gerutunya dalam hati.

Sambil mengernyitkan keningnya wanita cantik itu bertanya sopan, "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Sejenak Hendra ragu, "Entah ya mbak, saya gak yakin. Mungkin juga belum pernah, tapi sekarang jadi pernah bertemu deh."

"Hahaha... mas lucu juga ya, mungkin di kehidupan sebelumnya kali ya, hahaha..." wanita itu tertawa lepas sambil menyerahkan kartu namanya, "Oh ya, saya Mitha, dr. Mitha Astuty. Sebagai seorang dokter, saya setiap hari bertemu dengan banyak orang yang tentu saja tidak semua wajahnya saya ingat. Makanya tadi mas saya tanya, apa kita pernah bertemu, gitu loh mas."

"Duar!" jawaban itu bagaikan petir di siang bolong! Mitha-nya dulu adalah seorang dokter juga. Mereka pertama kalinya bertemu di Klinik tempat Mitha bekerja sebagai dokter Jaga. Ketika itu kulit dekat pangkal paha Hendra sobek terkena gerinda yang terlepas dari tangannya ketika hendak memotong pipa. Hendra masih bisa bersyukur karena gerinda itu tidak mau memilih tempat hangat berjarak beberapa senti meter saja dari pangkal pahanya. Teman-teman Hendra kemudian membawanya ke klinik tersebut.  

Tangan terampil dr. Mitha segera saja mengatasi luka dan pendarahan di paha Hendra. Sensasi dari tangan lembut dokter itu ternyata sangat mujarab mengurangi rasa sakit saat paha Hendra dijahit.

Setelah proses penjahitan selesai, kemudian timbul masalah baru. Celana pendek Hendra yang penuh darah itu ternyata sudah keburu digunting ibu dokter pula sewaktu membersihkan luka tadi, dan tidak mungkin lagi dipakai.

Sialnya teman-teman Hendra pun tidak ada pula yang mau meminjamkan celananya kepadanya. Untunglah ibu dokter itu bersedia meminjamkan celana basketnya kepada Hendra. Kebetulan celana itu tertinggal di mobil setelah dipakai ibu dokter main basket sehari sebelumnya.

Dengan celana pendek ketat berwarna oranye itu, Hendra kemudian dipapah temannya ke dalam mobil. Teman-teman Hendra kemudian sering bertandang ke Klinik dr. Mitha, sementara Hendra sendiri tidak pernah mau ikut. Rasa malu ternyata membuatnya tidak ingin bertemu lagi dengan dokter cantik itu.

Tetapi nasib berkata lain. Setahun kemudian mereka bertemu lagi. Ketika itu Mitha sedang melanjutkan pendidikannya dengan mengambil Program Spesialis Jiwa. Mereka kemudian jatuh cinta pada "pandangan kedua," lalu pacaran. Mereka kemudian membuat tato mawar dengan inisial HM pada bokong kanan mereka masing-masing sebagai tanda setia, sehidup semati. yang satu pengen hidup yang lain ogah mati. 

Namun hubungan mesra itu akhirnya kandas juga. Mitha berkata kepada Hendra kalau ia merasa jenuh dengan hubungan mereka yang berjalan datar dan biasa-biasa itu saja. Mitha ingin mencari suasana baru. Entah itu melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau bekerja di kota lain saja. Terlalu banyak membaca teori "Sigmund Freud dan Nietzsche" mungkin membuat Mitha jadi bingung.

Bagi Hendra perpisahan itu teramat berat. Meruntuhkan harga diri dan menggoncangkan keseimbangan "Yin dan Yang" di dalam tubuhnya. Apalagi Mitha kemudian raib begitu saja seperti ditelan bumi. Nalar dan perasaan lalu bercampur aduk menjadi satu. Realita dan Ilusi menjadi susah dibedakan, sampai kemudian terjadi kecelakaan mobil yang membuatnya gegar otak!

Namun Hendra tidak mau menyerah. Hidup harus terus berjalan. Itulah yang dilakukannya bersama dr. Andre dalam dua tahun terakhir ini, yaitu merajut kembali memori-memori yang tercerabut tersebut satu persatu agar bisa menjadi sebuah cerita utuh untuk memudahkan dirinya menata hidupnya kelak.

***

"Mas, mas..." suara dr. Mitha membuyarkan lamunan Hendra.

"Aduh, maaf ya dok, frasa kehidupan sebelumnya itu membuat saya cemas, jangan-jangan saya itu dulunya adalah kambing atau lipan," jawab Hendra sekenanya.

"Mas, Bhuddist ya?" tanya dr. Mitha lagi sambil tersenyum geli.

"Bukan, saya ini seorang atheis. Soalnya kadang-kadang saya suka lupa, hari apa saja saya bertugas jadi tuhan."

Hahahaha.. keduanya tertawa ngakak tanpa bisa ditahan. Titik air mata terlihat pada bola mata Hendra. Entah sudah berapa tahun ia tidak tertawa seperti itu, lepas tidak terkendali, membuat keringat hangat membasahi sekujur tubuhnya.

Suara tertawa itu rupanya membuat suster Rina keluar dari ruang periksa dokter. "Selamat malam dok, pak Hendra. Maaf, dr. Andre lagi liburan ke Hongkong selama seminggu. Rabu depan baru masuk. Itu di depan ada pemberitahuannya" sahut suster Rina dengan ramah.

***

Hendra duduk termenung di jok belakang taksi. Rintik hujan menemani perjalanan pulangnya dari praktek dr. Andre. Pertemuan singkat dengan dr. Mitha tadi membuatnya speechless, tidak tahu harus berkata apa, tapi jelas membuatnya bingung, senang dan rasa benci sekaligus.

Apakah tadi itu benar-benar Mitha atau bukan sih? Dengan gestur yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun itu, ia berani bertaruh kalau tadi itu adalah Mitha yang dikenalnya selama ini. Atau jangan-jangan ada kembaran Mitha yang lain!

Ah, seandainya ada cara mudah agar ia bisa memeriksa bokong itu, tentu segalanya akan menjadi terang benderang. Akan tetapi bagaimana kalau tato mawar itu sudah dihapus? Atau setiap orang juga bisa membuat tato standar seperti itu. Lagipula, apakah ada cara mudah untuk memeriksa bokong seorang wanita yang baru saja kita kenal tanpa akan menimbulkan kegaduhan?

Jangan lupa, ia juga belum sepenuhnya "waras!" Dulu ketika pertama kali bertemu dengan dr. Andre, Hendra sangat yakin kalau ia waras. Astaga! Baru kali ini ia tidak yakin kepada dirinya sendiri, ia waras atau tidak sih!

Hendra lalu menyuruh sopir taksi untuk balik lagi ke praktek dr. Andre. Hendra penasaran,  kelihatannya suster Rina familiar betul dengan Mitha, sama seperti kepada dirinya yang sudah dikenalnya selama dua tahun ini. Hendra ingin mengorek keterangan mengenai Mitha dari suster Rina. Jangan-jangan Mitha ini adalah pacar dr. Andre. Atau jangan-jangan Mitha adalah pasien dr. Andre! Tidak aneh memang. Seperempat pasien dr. Andre adalah dokter juga. Yah, dokter juga manusia...

***

Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Hendra terpaku menatap Medical Record dr. Mitha. Membaca medical record orang lain tanpa izin, pastilah ilegal! Hendra bisa melihatnya hanya karena berhasil mengelabui suster Rina dengan berbohong, dan juga melalui perpindahan dua lembar pecahan seratus ribu rupiah. Kini air mata Hendra bercucuran membasahi pipinya. dr. Mitha tadi memang benar adalah Mitha-nya dulu!

Hendra lalu merangkai catatan medis itu dengan kenangan dua tahun bersama Mitha. Hendra lalu teringat kepada Randy. Randy yang adalah sepupu dr. Andre ini, adalah masa lalu Mitha sebelum bersama Hendra.

Setelah Mitha putus dari Hendra, Mitha dan Randy kemudian mencoba peruntungan mereka sekali lagi di Amerika. Namun hubungan itu berakhir tragis. Setahun lalu, Randy bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri dengan sebuah pistol. Mitha kemudian kembali ke Jakarta dalam keadaan depresi berat!

Ah, betapa kejamnya cinta. Betapa berat akibat yang ditimbulkan cinta itu kepada orang-orang yang pernah "mencumbunya." Apakah yang akan dilakukan Hendra sekarang? Hendra Jelas tidak bisa melupakan bayangan masa lalunya bersama Mitha. Setelah melihat wajah Mitha tadi, Hendra sadar kalau ia sebenarnya tidak akan mampu move-on dari Mitha. Ia sepertinya tidak akan bisa jatuh hati lagi kepada orang lain karena ia tidak punya hati lagi. Hati itu sudah lama dibawa pergi oleh Mitha.

Beranikah ia mencobanya sekali lagi, justru ketika luka lama itu pun belum kunjung sembuh? Bisakah "orang mati" terbunuh lagi? Bisakah orang kurang waras patah hati lalu menjadi tak waras?

Seandainya usaha Hendra itu mengalami kegagalan lagi, maka risiko terbesar yang harus dihadapi orang kurang waras seperti Hendra hanya satu, yaitu menjadi waras betulan!

***

Sabtu sore yang cerah itu Hendra kemudian menelfon Mitha, "Hai, selamat sore dok, apa kabar?"

"Selamat sore. Baik mas. Eh, mas sendiri gimana kabarnya?"

"Baik dok. Mmm saya punya cerita tentang seseorang yang pahanya terkena gerinda, apakah dokter mau mendengarnya?

"Oh gitu, sepertinya pernah dengar ceritanya, tapi sekarangpun saya masih mau mendengarnya juga."

"Hmmm gimana kalau sekiranya saya datang ke rumah dokter untuk menceritakannya secara langsung?"

"Wah ide bagus tuh, sekalian tolong bawakan martabak ya mas."

"Hmmm rasanya saya tahu martabak kesukaan dokter, taburan kacang plus irisan keju."

"Tepat sekali mas. Btw, mas tahu alamat rumah saya?"

"Sepertinya saya tahu. Langkah kaki ini pasti akan menuntun saya ke rumah dokter. Tunggu ya dok...."


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun