Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dress Code: Antara Gaya, Norma dan Kekebasan Kita

2 September 2025   09:20 Diperbarui: 2 September 2025   09:20 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dress Code dan kebebsan kita | www.merdeka.com

Pernahkah Anda merasa kikuk karena salah kostum? Misalnya, datang ke acara syukuran RT dengan celana pendek dan kaos oblong, sementara yang lain sudah tampil rapi dengan batik atau seragam arisan. Atau, ibu-ibu yang mengantar anak ke sekolah, ada yang tampil dengan daster sederhana, ada juga yang seperti baru turun catwalk dengan full make-up dan blazer modis. Fenomena dress code memang bukan sekadar urusan kain yang menempel di badan, tapi bisa jadi cermin kecil relasi sosial, norma budaya, hingga tarik-menarik soal kebebasan individu.

Dari RT sampai Arisan 

Di level paling sederhana, misalnya di lingkungan RT, sering ada acara rutin: rapat warga, kerja bakti, pengajian, atau arisan. Di momen-momen seperti ini, biasanya ada semacam "dress code" tidak tertulis. Kalau rapat resmi, minimal pakai baju rapi, jangan kaos lusuh. Kalau pengajian, sering dianjurkan busana muslim. Nah, yang menarik, kadang ada warga yang kaku mengikuti aturan, ada juga yang santai saja.

Ibu-ibu misalnya, paling jago urusan "kode busana". Ada kelompok yang tampil natural dengan daster kebanggaan, ada yang seolah membawa panggung fashion show ke lapangan voli RT. Ini sebenarnya bagian dari dinamika sosial. Sosiolog Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai distinction cara orang mengekspresikan identitas dan kelas sosial melalui gaya hidup, termasuk pakaian. Jadi, daster pun bisa jadi simbol: sederhana tapi merdeka.

Dunia Sekolah: Antara Seragam dan Status

Naik sedikit ke level sekolah. Anak-anak sudah jelas pakai seragam. Tapi, drama justru sering terjadi di kalangan orang tua. Coba perhatikan di pagi hari. Ada ibu yang mengantar anaknya dengan motor, masih pakai baju tidur, rambut diikat asal-asalan. Ada juga yang tampil seperti mau rapat penting: baju branded, tas mahal, sepatu kinclong.

Fenomena ini bukan sekadar soal selera. Pakaian di sekolah sering menjadi "panggung sosial" antar-orang tua. Ada rasa ingin terlihat setara, atau malah menonjol. Lagi-lagi, ini bukan hal baru. Thorstein Veblen dalam The Theory of the Leisure Class (1899) menyebut istilah conspicuous consumption konsumsi mencolok untuk menunjukkan status. Dan pakaian adalah salah satu medium paling gampang untuk itu.

Tapi, di sisi lain, muncul juga perdebatan tentang kebebasan. Apakah salah kalau seorang ibu merasa nyaman dengan daster? Atau salahkah seorang bapak datang dengan sandal jepit ke rapat sekolah? Selama tidak mengganggu, bukankah itu bagian dari hak kebebasan personal?

Elit Artis dan Pejabat: Dress Code Jadi Politik

Kalau kita geser ke level artis atau pejabat, ceritanya semakin menarik. Dress code sering jadi isu nasional. Ingat ketika seorang pejabat tampil dengan sepatu mahal, netizen langsung heboh: "Pantesan, uang rakyat dipakai!" Atau ketika artis tampil nyentrik di acara resmi, publik ramai membahas, seakan-akan itu soal krusial bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun