Kematian Raya bukan sekadar kabar duka. Ia adalah potret buram betapa kesenjangan antara elite dan rakyat begitu nyata. Kematian karena cacingan menunjukkan tiga hal: lemahnya akses kesehatan, buruknya gizi anak, dan rendahnya perhatian negara pada masalah fundamental rakyat kecil.
Ironis sekali. Negara yang anggaran kesehatannya triliunan, yang para wakilnya minta gaji dinaikkan, justru gagal melindungi seorang bocah dari ancaman cacing.
Kalau kita mau jujur, tragedi ini mestinya membuat anggota dewan merenung, bukan berjoget. Mestinya mereka mengajukan RUU Sanitasi Nasional, memperjuangkan program gizi gratis untuk anak, atau menambah anggaran pemberantasan penyakit parasit. Bukan menambah daftar koreografi untuk pesta pribadi.
Etika Politik yang Hilang
Aristoteles menulis bahwa tujuan politik adalah the good life, kehidupan baik bagi semua warga. Dalam Islam, Al-Mawardi menekankan bahwa pemimpin adalah pelayan publik, bukan penikmat fasilitas. Namun etika itu seolah hilang dalam panggung Republik Joget.
Wakil rakyat yang mestinya menangis bersama orang tua Raya, justru memilih tertawa dan berjoget di depan kamera. Rakyat yang mestinya melihat empati, malah disuguhi hiburan. Perwakilan politik berubah menjadi perwakilan irama.
Tentu, rakyat tidak tinggal diam. Begitu video joget itu viral, media sosial dipenuhi meme, sindiran, hingga joget tandingan. Humor menjadi senjata rakyat, satire menjadi alat perlawanan. Tapi kita tidak boleh berhenti pada tawa.
Satire memang penting untuk membuka mata, tapi tindak lanjutnya lebih penting: menuntut agar gaji tinggi itu sepadan dengan kerja nyata. Agar tragedi seperti yang dialami Raya tidak lagi terulang.
Kita tidak anti-joget. Joget itu hak semua orang, termasuk anggota DPR. Tapi masalahnya adalah konteks. Pantaskah berjoget di tengah isu kenaikan gaji, ketika rakyat kehilangan anak karena cacingan? Pantaskah tertawa di atas penderitaan?
Politik seharusnya kembali ke irama aslinya: bukan joget pribadi, melainkan harmoni kepentingan rakyat. Negeri ini butuh wakil yang memperjuangkan, bukan wakil yang berpesta. Butuh parlemen yang menangis bersama orang tua Raya, bukan parlemen yang berjoget sambil menambah rekening.
Penutup