Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Antara Cinta yang Diwajibkan dan Cinta yang Dirasakan

6 Agustus 2025   13:00 Diperbarui: 6 Agustus 2025   14:20 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelantikan Pengurus PC GP Ansor Bojonegoro 2025-2029 | dok.pri.

Ada yang berbeda pagi itu. Langit Bojonegoro memang biasa-biasa saja, tapi dada ini rasanya tak biasa. Ketika deretan pengurus PCNU Bojonegoro dan banomnya berdiri tegak, mata menatap bendera Merah Putih yang perlahan naik diiringi lagu Indonesia Raya, mendadak bulu kuduk merinding. Cinta ini seolah melonjak dari dalam dada, bukan karena disuruh, tapi karena merasa. Rasanya seperti mengucap janji diam-diam pada ibu pertiwi: "Aku bangga menjadi bagian dari negeri ini."

Tak berhenti sampai di situ, setelah Indonesia Raya, lantunan Ya Lal Wathan mengisi udara. "Hubbul wathan minal iman..." lagu yang dulu hanya jadi pelengkap seremoni, kini terasa lebih dalam maknanya. Apalagi saat Mars Ansor menggema, saya tak sekadar menyanyi, saya merasa menjadi bagian dari sejarah panjang sebuah organisasi besar yang adem dan mengayomi. NU bukan hanya rumah besar, tapi juga pangkuan ibu---yang meski kadang keras menegur, selalu ada untuk meneduhkan.

Itulah momen ketika saya berpikir, barangkali inilah bedanya antara cinta yang diharuskan dan cinta yang dirasakan.

Sejak kecil kita diajarkan mencintai tanah air. Pelajaran PPKn, upacara bendera, nyanyi lagu wajib nasional---semuanya tertulis dalam kurikulum. Tapi, apakah dengan itu otomatis cinta tumbuh? Belum tentu. Cinta yang diwajibkan sering kali hanya berhenti di ritual. Menghafal lagu tanpa memahami makna. Berdiri tegak saat bendera naik, tapi lupa bagaimana menghargai keragaman dan keadilan sosial.

Psikologi sosial menyebutkan bahwa cinta, sebagaimana emosi lain, tumbuh dari interaksi dan pengalaman emosional. Dalam Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), manusia akan lebih terdorong melakukan sesuatu dengan penuh semangat dan ketulusan jika datang dari rasa intrinsik, bukan sekadar perintah eksternal.

Maka cinta yang dipaksa, apalagi tanpa pemaknaan, seringkali rapuh. Ia mungkin kuat dalam suasana seremoni, tapi lemah saat diuji oleh konflik sosial, perbedaan ideologi, atau gempuran hoaks. Karena itu, kita butuh lebih dari sekadar pelajaran mencintai tanah air atau organisasi. Kita butuh pengalaman, relasi, dan rasa memiliki.

Rasa yang muncul saat menyanyikan lagu kebangsaan dan mars organisasi tempo hari, itu bukan formalitas. Itu rasa. Dan rasa itu datang karena merasa menjadi bagian. Karena saya tahu sejarah NU memperjuangkan kemerdekaan, tahu bagaimana Ansor dan Banser menjaga NKRI dari ekstremisme, tahu bagaimana para kiai di pelosok desa mengajarkan Islam yang damai, ramah, dan menyejukkan.

Itulah cinta yang dirasakan. Ia datang dari pengalaman, dari keterlibatan, dari mengetahui bahwa saya bukan hanya penonton dalam panggung besar bernama Indonesia atau NU, tapi juga pemain---meski kecil peran saya. Dalam ilmu sosiologi, ini disebut sebagai sense of belonging---perasaan menjadi bagian dari komunitas, yang membuat seseorang merasa berharga dan dihargai.

Cinta yang seperti ini tak mudah luntur. Ia bertahan meski tidak ada upacara, tak pudar meski tak ada bendera. Ia hadir dalam tindakan sederhana: membantu tetangga, ikut rapat ranting, jaga malam di pos ronda, atau menyapa dengan salam saat melewati gang.

Pengurus PC GP Ansor Bojonegoro 2025-2029 bersama Menteri PMK Pratikno | dok.pri.
Pengurus PC GP Ansor Bojonegoro 2025-2029 bersama Menteri PMK Pratikno | dok.pri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun