Di sebuah pagi cerah di pelosok desa Jawa, suara gamelan kecil terdengar dari sudut sawah. Sejumlah orang---anak-anak, petani, ibu-ibu berselendang batik---berkumpul di tepi pematang, membawa tumpeng mini, hasil bumi, dan sesajen sederhana. Bukan pesta besar-besaran, bukan pula perayaan yang mengundang selebritas. Mereka sedang melaksanakan wiwit, tradisi tua nan sarat makna untuk menyambut panen padi. Tradisi ini sederhana, tapi mengandung falsafah hidup yang dalam: syukur, harmoni, dan penghormatan terhadap alam.
Apa Itu Wiwit?
Secara etimologis, "wiwit" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "memulai". Dalam konteks pertanian, wiwit adalah ritual yang menandai dimulainya panen padi. Masyarakat Jawa melakukannya dengan membawa aneka makanan seperti nasi tumpeng kecil, urap, tempe, ayam panggang, dan jajanan pasar. Semua itu disusun rapi dalam wadah dari daun pisang atau tampah, lalu diletakkan di sawah, diiringi doa dan harapan agar panen berjalan lancar dan membawa berkah.
Tradisi wiwit ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari menjelang para petani mulai menuai padi. Tidak mewah, tapi khidmat. Kadang disertai kidung Jawa atau doa Islam ala desa, yang mencerminkan akulturasi budaya lokal dan religiusitas masyarakat.
Wiwit, Antara Sakralitas dan Sosialitas
Wiwit bukan sekadar ritual, ia adalah simbol keterhubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Dalam studi antropologi pertanian, seperti dicatat oleh Koentjaraningrat, tradisi seperti wiwit mencerminkan pola pikir masyarakat agraris yang hidup dalam siklus musim, bergantung pada tanah dan langit. Ketika padi menguning, bukan hanya hasil kerja keras yang dipanen, tapi juga kemurahan alam yang telah memberi kehidupan.
Di sisi lain, wiwit juga menjadi media penguat ikatan sosial. Ketika para tetangga datang membawa makanan dan berkumpul di sawah, ada semacam silaturahmi spiritual yang terbangun. Mereka berbagi makanan, cerita, dan doa. Anak-anak belajar menghargai kerja petani, mengenal rasa syukur, dan memaknai pangan bukan hanya sebagai barang konsumsi, tapi hasil dari proses panjang penuh nilai.
Tradisi yang Mulai Tergerus
Namun sayang, seiring berjalannya waktu, tradisi wiwit mulai ditinggalkan. Di banyak desa, terutama yang dekat dengan kota atau akses digital, generasi muda lebih sibuk dengan ponsel dan media sosial ketimbang ikut ke sawah. Mereka mengenal padi dari bungkus nasi kotak, bukan dari batangnya yang bergoyang ditiup angin.
Modernisasi pertanian juga membuat proses panen menjadi lebih cepat dan mekanis. Traktor menggantikan sabit, dan sistem borongan menggantikan kerja gotong royong. Efisiensi memang penting, tapi nilai-nilai kultural ikut hilang jika tak dilestarikan. Wiwit menjadi "kenangan", bukan praktik hidup.