"Wawan, apa itu lagi? Nasi jagung dan... astaga, itu tempe apa batu bata?" ejeknya, diikuti tawa teman-teman yang lain.
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Ini bukan sembarang tempe. Ini tempe spesial buatan emak. Tebalnya bikin kenyang sampai besok!"
Tono mengerutkan dahi, lalu mencoba menahan tawa. Tapi aku tidak peduli. Dengan bangga, aku memakan nasi jagung dan tempe itu, membayangkan wajah emak yang tersenyum puas di rumah.
Sore itu, saat bermain sepak bola, tempe emak benar-benar jadi penyelamat. Ketika kami kehabisan bola karena nyangkut di pohon, aku mengeluarkan tempe goreng sisa bekalku dan berkata, "Pakai ini aja buat latihan. Lumayan berat!"
Kami semua tertawa, lalu benar-benar memainkan tempe itu seperti bola. Ternyata, tempe emak tidak hanya bikin kenyang, tapi juga tahan banting.
Sejak saat itu, aku tidak lagi malu membawa nasi jagung dan tempe ke sekolah. Justru, aku mulai bangga. Karena di setiap gigitan nasi jagung itu, ada rasa cinta emak yang tidak bisa digantikan oleh roti cokelat atau makanan mahal lainnya.
Dan setiap kali aku mengingat tempe goreng "lapis baja" itu, aku selalu tersenyum. Karena di situlah aku belajar, bahwa cinta seorang ibu kadang datang dalam bentuk yang keras di luar, tapi lembut dan penuh kehangatan di dalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI