Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Upaya Membentuk Ekosistem Pendidikan Toleran

20 Juli 2022   16:47 Diperbarui: 20 Juli 2022   16:53 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun ini paparan intoleransi, radikalisme dan terorisme kian nyata di keseharian. Ada beberapa hal yang dulu tidak ada atau asing, kini menjadi hal yang biasa terjadi, dan sebaliknya dulu biasa dan lazim dilakukan, kini makin jarang dilakukan bahkan tidak pernah dilakukan.

Contohnya adalah upacara bendera tiap hari Senin di sekolah-sekolah dari PAUD sampai sekolah Menangah Atas. Pada upacara bendera, banyak hal dilakukan berkenaan dengan kecintaan kita terhadap tanah air. Pertama misalnya adalah baris berbaris, kedua kita terbiasa dan bahkan sangat mengenal symbol-simbol negara seperti Pancasila, Pembukaan UUD 1945, lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih.

Kini kegiatan itu sangat jarang dilakukan oleh sekolah-sekolah. Bahkan beberapa sekolah tidak pernah melakukannya lagi. Sehingga tidak heran jika kita terkaget-kaget ketika sebuah televisi nasional mencegat beberapa siswa SMP dan meminta mereka mengucapkan sila-sila dalam Pancasila, dan mereka tidak bisa menyebutkannya secara runtut. 

Atau ada juga seorang anak yang diketahui sebagai murid sekolah Dasar, bahkan tidak bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Ada juga kenyataan bahwa beberapa sekolah menyuruh muridnya masuk saat hari libur nasional memperingati hari besar umat lain non muslim. Hari libur nasional itu bahkan ditndai dengan penanggalan berwarna merah. Namun, beberapa sekolah tetap masuk sekolah dengan alasan bahwa mereka berbasis agama Islam.

Kita juga melihat kenyataan bahwa seringkali satu kelompok anak, terlalu sulit berbaur dengan anak lainnya. Mereka terlihat kaku bahkan enggan untuk mengucapkan selamat hari natal atau selamat hari Waisyak kepada anak yang merayakannya, karena sang guru di sekolah sering melarangnya -- katanya menurut ajaran agama.

Bahkan ada yang lebih ekstrem, mereka tidak mau pergi ke mal atau tempat keramaian lain yang menyenangkan bagi anak seusianya dengan dalih bahwa anak-anak yang ada di tempat-tempat seperti itu adalah kafir. Bahkan mereka tidak segan menyebut mereka yang berbeda keyakinan sebagai kafir.

Mungkin bagi awam, ini adalah fenomena biasa tapi bagi seorang intelektual dan pemerhati sosial ini adalah suatu pergeseran . Pembenahan hal yang terlihat kecil ini harus segera dilakukukan karena jika tidak persoalan akan menjadi lebih besar. 

Pembenahan paling ideal dimulai dari sector kelarga dan sarana Pendidikan (sekolah) mulai dari yang paling sederhana yaitu playgrup sampai Sekolah Menengah Atas. Orangtua menjadi lebih peduli dan memperhatikan apa yang diajarkan oleh pihak sekolah. Jika keluar dari ketentuan pengajaran, supaya dilaporkan kepada Dinas Pendidikan setempat.

Jika itu konsisten dilakukan oleh banyak pihak, maka ekosistem Pendidikan kita mungkin bisa membaik. Paling tidak lebih toleran, lebih terbuka dan tidak menganggap dirinya benar sendiri. Agama pada dasarnya membawa damai, bukan pertikaian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun