Mohon tunggu...
Chindy Treisya
Chindy Treisya Mohon Tunggu... Guru - Kepada seni, bahasa, budaya, sejarah, dan fotografi.

Karena hidup adalah perihal memahami apapun yang tak kita mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Hari di Filastin

4 November 2023   10:36 Diperbarui: 4 November 2023   10:38 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic by. Jorge Fernandez Salas

Namun, ia bersyukur. Sungguh-sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua yang masih dimilikinya kini. Tempat bernaung, rasa kemanusiaan, dan sejarah turun-temurun.

***

Suasana pagi kembali menyusup di sela-sela selimut kain perca tebal yang melindungi tubuhnya semalaman. Disibaknya sheer---tirai putih tipis yang menjadi penutup hampir pada setiap kamar tidur di sana. Ia dapat melihat samar papan nama kayu besar bertuliskan huruf Arab yang memiliki arti 'Rumah Singgah Anak' dari balik jendela kamarnya.

Ia teringat di tahun pertama saat dirinya masuk ke tempat itu. Rasa takut bercampur gundah yang memenuhi dan menyesakkan hatinya. Orang-orang yang tak dikenalnya berbicara dalam dua bahasa, Arab dan bahasa Inggris yang terdengar renyah seperti di film-film Barat yang dikaguminya. Dengan seragam kemiliteran mereka tak henti menanyai Tamer dengan pertanyaan yang sama.

"Do you have another family?"

Ia yang miskin bahasa kala itu mendadak menjadi hafal di luar kepala beberapa percakapan yang biasa mereka utarakan kepadanya. Mendadak menjadi terbiasa memakan pancake, bukannya roti Saj dan susu kayu manis kacang---Sahlab. Ia semakin terbiasa untuk tak mengingat rasa kehilangan di usia dininya, walaupun semua masih tertinggal di dalam hatinya.

Tamer bukannya tidak memiliki keluarga lain. Bibi jauhnya, Fatimah, tinggal di Selatan Lebanon dengan delapan anak yang usianya tak jauh berbeda darinya. Tega sekali rasanya bila Tamer tetap memaksa untuk tinggal di sana. Meski ia tahu benar betapa kasih sayang sang bibi tidaklah berbeda dengan ibu yang semakin dirindukannya.

Tiba-tiba, lonceng dari arah Timur kamarnya seketika membangunkan lamunan Tamer dan kumpulan ingatannya itu. Ia pun bergegas mandi, lalu mengantre di ruang makan. Memegang pisau dan selai saus cokelat, menunggu sang tumpukkan pancake tiba bersama tentara dan anak-anak pengungsi lainnya.

***

Pic by. Nada Gamal
Pic by. Nada Gamal

"Hey, watch your step!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun