Mohon tunggu...
Chilmi Muhammad Alawi
Chilmi Muhammad Alawi Mohon Tunggu... -

I am an amateur writer but i have a dream to be professional writer\r\n\r\ndon't forget to follow my twitter @chilmi_muhammad

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karena Cinta, Dia Rela Memenggal Kepala Ayahnya

25 Juli 2012   11:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah kisah yang hinggap di keluarga kecil yang begitu bahagia dengan anggota seorang suami, istri dan anak, awal mula sebuah kisah dimulai tatkala sang anak berpamitan kepada orang tuanya bahwa dia berminat ingin menyandang status sebagai seorang santri di salah satu Pondok Pesantren di daerah tersebut yang diasuh oleh seorang Syeikh yang terkenal dengan sifat alim serta karomahnya yang tak bisa diragukan lagi. Pada awalnya kedua orang tuanya merasa sedikit keberatan, bukan dikarenakan apa-apa, namun karena sebuah alasan yang klasik, yakni sang ayah yang bekerja sebagai seorang pedagang di luar kota dan jarang pulang ke rumah, sehingga ibunya merasa kesepian bila harus di tinggal oleh anak semata wayangnya yang ingin menetap sementara di pondok pesantren.

Meskipun dengan sebuah pertimbangan yang begitu berat, akhirnya seorang anak tersebut diizinkan juga menunaikan hasrat baiknya. Dengan penuh kesabaran kedua orang tuanya melepas kepergian sang buah hati menimbah ilmu di pondok pesantren tersebut. Tak terasa beberapa tahun sang putra tidak pernah pulang ke rumahnya, hingga suatu saat dimana sang Syeikh memanggilnya guna menguji kecintaannya kepada dirinya, sang Syeikh berkata

“Wahai muridku, apakah engkau mempunyai rasa Mahabbah kepadaku?”

“Ya Arif Billah, aku telah engkau didik selama ini dengan begitu baik, maka sungguh tak beradap bila aku yang bodoh ini belum juga bisa ber Mahabbah kepada engkau”

“Baiklah, bila engkau benar-benar mahabbah denganku, sekarang kuperintakan engkau pulang ke rumahmu dengan membawa pedang ini, kemudian penggal kepala ayahmu seketika itu juga”

Mendengar sebuah maklumat yang demikian, sang murid pun terpaksa harus berfikir panjang, beberapa menit dia diam termenung, memikirkan bagaimana dia bisa tega memenggal kepala seorang yang selama ini mencintai dan mengasihinya, namun karena rasa Mahabbahnya kepada sang Syeikh, akhirnya dia bersedia melakukannya.


Dengan penuh semangat karena dorongan rasa Mahabbah yang begitu besar kepada gurunya, sang murid ini pun pulang, larut dalam pekatnya malam yang menghiasi negara Timur Tengah saat itu. di bukanya pintu dan di masukinya kamar sang ibu, karena tak ada sebuah penerangan, maka saat itu hanya tergambar bayangan seorang yang sedang bersenggama, dipikirlah bahwa orang tersebut adalah ayahnya, tanpa pikir panjang lagi, sebilah pedangpun dikeluarkannya dari penutupnya, dengan sekali tebas kepala orang tersebut putus terpisah dari badannya.

Kemudian, seakan tanpa memiliki rasa bersalah, sang murid tadi bergegas kembali ke Pondok pesantrennya guna melaporkan kepada Syeikhnya, kalau perintahnya telah selesai dilakukan.

“Wahai guru, saya telah melaksanakan semua perintahmu, sekarang kepala ayahku telah putus”

Menanggapi laporan tersebut, sang guru hanya tersenyum manis dan menjawab

“Sekarang, coba engkau kembali lagi, namun gantilah pedangmu itu dengan api obor ini, perhatikan baik-baik siapa orang yang telah kau penggal kepalanya tadi”

Kali ini sang murid dibuat benar-benar bingung, setelah diperintahkan untuk memenggal, kemudian sekarang di suruh melihat sisah perbuatannya, tetapi karena itu perintah maka dengan sekuat hati dia harus bisa tahan melihat wajah ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi.

Beberapa menit kemudian, sampailah dia kembali ke rumah, tanpa berbasa basi lagi, didekati sebuah kepala manusia yang tetap tergeletak di atas lantai yang lusuh,berlahan pandangannya terteguk, setelah diamati, bukannya menjadi jelas, malah semakin menimbulkan sebuah pertanyaan, sebab kepala tersebut bukan merupakan kepala dari seseorang yang selama ini dia kenal, melainkan kepala dari orang lain.

“Wahai anakku mengapa engkau bisa tahu kalau ibumu sedang dalam bahaya?” lantunan suara lembut memecah rasa heran dari murid tadi

“Ibu, memangnya apa yang sebenarnya terjadi? Saya tadi hanya menjalankan perintah dari Syeikh”

“Shubhanallah, ibu tadi sedang di perkosa oleh orang ini, tatkala ayah kamu sedang keluar kota”

Mengetahui sebuah hikmah dari perintah tersebut, sang anak lantas tak henti-hentinya mengumandangkan lantunan syukur sembari memeluk sang ibu. Begitu indah nan damai tatkala rasa cinta (Mahabbah) menghiasi relung hati setiap manusia, sungguh dunia tak akan berwarna tanpa Anugerah Cinta dari sang Maha Kuasa.

maka tak heran bila di salah satu acara televisi saat sahur sering memutar lagu

Hidup Tanpa CInta Bagai Taman Tak Berbunga,

hai begitulah kata para pujangga

aduh hai begitulah kata para pujangga

Bangil, 25 Juli 2012

C. Rumi Muhammad

@Chilmi_muhammad ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun