Mohon tunggu...
Sosok

Matinya Demokrasi

11 Oktober 2018   08:11 Diperbarui: 11 Oktober 2018   08:44 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keputusan Jokowi dengan menggandeng Ma'aruf seolah mengatakan bahwa ia telah melaksanakan ijtima ulama (meski titah itu bukan untuk beliau) agar mengambil ulama sebagai wakilnya. Di lain pihak, Prabowo malah menggandeng "kawan satu rumah", Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Ada yang terkejut?

Pasti Anda terkejut, bukan? Bahkan masih lekat pada ingatan saat petinggi PKS menyampaikan pesannya yang mengatakan, "Pilihannya hanya dua: memilih hasil rekomendasi ijtima ulama, atau ditinggal umat".

Tapi, malam saat deklarasi, beliau yang bicara begitu pun berdiri paling depan. Itulah politik. Harus dinamis, cair, dan tidak ada yang pasti, kecuali kepentingan! Dan Prabowo-Sandi pun resmi diusung tiga partai untuk berkonsentrasi pada pilpres nanti, yakni Gerindra -- PAN -- PKS.

Jokowi memang harus kita akui cerdas dan bijak dalam memilih wakilnya. Isu SARA yang selama ini menggema setiap kali pemilu tiba, bisa ditepis dengan menggandeng seorang ulama kharismatik. Warga Nahdliyyin pun pasti senang dengan keputusan Jokowi, karena seperti kata KH. Ma'aruf Amin, Jokowi menghargai ulama. Dan tentunya, siap memenangkannya.

Namun, dengan keputusan itulah yang membuat kita harus menarik nafas dalam-dalam sekali lagi. Seiring persoalan yang hadir dalam pemilu, kebanyakan persoalan selalu dikaitkan dengan agama.

Seringkali kita dengar para politisi mendengungkan demokrasi, segala sesuatu  dengan embel-embel demokrasi. Tapi apakah seperti ini demokrasi? Mengatasnamakan agama hanya untuk mendapatkan simpati dan suara rakyat. Lalu, jika begitu apakah pemilu 2018 ini yang identik dengan kata "Pesta Demokrasi" hanya sebagai kiasan, tidakkah menambah daftar kejelekkan Indonesia setelah tercoreng isu toleransi? Sungguh miris sekali bukan? begitulah karut marutnya demokrasi di Indonesia.

Sikap saling curiga antara agama yang satu dengan agama yang lain sebagai fanatisme agama. Hal ini berimbas pada keturunan selanjutnya, terlebih masyarakat yang notabene tidak berpendidikan. Lalu, apakah agama dan politik harus dipisahkan? Pemisahan agama dengan politik sebenarnya sudah selesai jika kita melihat bahwa negara kita adalah negara Pancasila. Karena itulah, dalam negara Pancasila relasi agama dan politik tersebut harus didudukkan dengan benar. Agama dan politik tidak bisa dipisahkan, tetapi juga tidak bisa dicampuradukkan. Agama mengajarkan etika dan moral negara. Sedangkan, politik bagian dari negara untuk mengatur sedemikian rupa roda pemerintahan.

Saat ini, masyarakat butuh sosok pemimpin yang berani "bertarung" secara adil, tidak ada tipu muslihat dan black campaign menggunakan media televisi, cetak maupun online. Apalagi menyangkut urusan SARA hanya untuk menarik suara rakyat. Sejatinya demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana rakyat dapat turun langsung dalam menjalankan roda pemerintahan, bukannya dijalankan oleh roda pemerintahan tersebut. Rakyat berhak mendapat informasi yang benar dan transparan. Tanpa pengurangan dan penambahan. Semua warga wajib mendapat haknya dalam pemerintahan, tidak melihat dia agama apa ataupun dari suku apa. Karena kita satu. Indonesia.

*Penulis adalah Mahasiswa Mata Kuliah Ilmu Politik semester I, Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun