Mohon tunggu...
Chelsea Venda
Chelsea Venda Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia

Laki-laki yang menyukai jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berbincang dengan Wisudawan Online 2020

29 September 2020   17:01 Diperbarui: 29 September 2020   17:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kompas.com

Di luar, langit telah mendung, sudah satu minggu terakhir di Wangon selalu seperti itu. Hari ini saja, sudah beberapa kali hujan turun, reda, turun kembali, reda lagi. Wilayah kecil di selatan Jawa ini mungkin sedang menemui musim penghujan.

Aku sedang duduk di kamar, di sebelah kasur yang tak terpasang seprei. Di dinding, ada figura foto yang tak kuat lagi menahan kenangan, ia jatuh minggu lalu, tak sampai pecah karena jatuh di atas kasur. Di sebelah kiri, ada kipas angin kecil, ia telah berjanji setia sejak kelas dua SMA, hingga kini kata-katanya masih terbukti, meski aku sempat tak sengaja menjatuhkannya sekali.

Lubang telingaku sedang kusumpal dengan headshet yang kutemukan tergetak ditumpukan meja. Beberapa kali, suara motor terdengar, di jam-jam seperti ini orang-orang mulai pulang kantor. Menemui rumah, menemui kehangatan.

Di jam-jam seperti ini, seorang laki-laki tengah menulis, mencoba merekam perasaan. Kurang dari dua puluh empat jam, laki-laki itu akan menuntaskan masa kuliahnya. Jika dunia normal, laki-laki itu saat ini sedang ada di Semarang. Ia mungkin memilih duduk di Taman Budaya Raden Saleh, memesan es susu sirup.

Duduk di jembatan kecil, di sebelah pohon besar di sana. Waktu-waktu seperti ini, adalah waktu-waktu genting. Harusnya laki-laki itu sibuk merekam semua hal tentang Semarang. Mengunjungi kembali warung kopi di dekat Sam Poo Kong, nasi pecel di Lemah Gempal, memesan kembali nasi goreng sebelah kontrakan, atau warung lamongan di samping Banjir Kanal Barat.

Tetapi toh, saat ini dunia sedang murung. Laki-laki itu, sekarang, nyatanya hanya berada di sebuah kamar, pikiranya saja yang melayang.

Aku duduk di samping laki-laki itu, ia bukan sosok yang ramai, tetapi lain kalau sedang sendiri. Pelan-pelan ia mengajaku mengobrol. Membicarakan awal tahunnya yang menyenangkan, hingga hari-hari terakhir sebelum ia diwisuda.

Di awal tahun misalnya, ia diterima untuk magang di sebuah media di Kota Jakarta. Kota ini, selain menjadi pusat media-media nasional tumbuh, juga menjadi kota yang menjadi tempat hidup perempuan yang ia sukai.

Awal tahun itu, laki-laki ini mengawalinya dengan sebuah kabar gembira tersebut. Antusias, begitu aku melihat laki-laki ini saat bercerita tentang Jakarta, media, dan magang yang menurutnya waktu itu akan menjadi momen spesial yang sulit dilupakan. Namun, apa daya, takdir itu tak seperti busur panah, barangkali ia seperti bola plastik yang dimainkan anak-anak.

Kesempatan untuk magang di Jakarta, untuk satu kota dengan perempuan itu tidak terjadi. Magangnya tetap jadi, hanya saja ia dipindah ke Semarang. Di Semarang, baru dua bulan, magangnya terpaksa diakhiri karena ada pandemi.

"Kita mungkin sedang dipaksa untuk hidup hari ini, dan berhenti memikirkan masa depan." Kata laki-laki itu.

Mengapa kita memikirkan sebuah masa dimana kita belum tentu ada di dalamnya, kenapa tidak diri kita di masa depan saja yang memikirkan itu. Toh, hidup yang kita rasakan ya hari ini, katanya.

Lika-liku semester akhirnya itu, membuatnya memilih pulang. Ia mulai fokus mengerjakan skripsi dan akhirnya bisa sidang di bulan Juli kemarin. Kini, di akhir bulan September, ia sedang menikmati menit per menit sebelum ia diwisuda dari sebuah kamar kecil di Wangon.

Tampaknya, laki-laki ini tak terlalu risau dengan wisuda online. Menurutnya, wisuda online adalah hal yang mau tidak mau menjadi satu-satunya pilihan. Merayakan wisuda seperti pada umumnya jelas tak bisa, mengundurkan tanggal sampai pandemi berakhir, lebih tak masuk akal.

Di fase-fase awal, dirinya memang sempat kesal. Mengapa pandemi terjadi di tahun terakhirnya kuliah, atau mengapa pandemi tak diselelesaikan dengan cepat, mengapa seolah pemangku jabatan gagap menghadapinya, atau mengapa kesempatan untuk satu kota dengan perempuan itu tidak terjadi.

Tapi, itu adalah kenyataan yang memang harus dihadapi. Bagaimanapun ia ditolak, tak mengubah apa-apa juga.

Laki-laki ini hanya menyesalkan, harusnya di waktu-waktu seperti ini, ia ada di Semarang. Menghirup dalam-dalam aroma kota itu, membiarkan tubuhnya mengeluarkan keringat saking panasnya udara di sana atau mencoba menghubungi perempuan itu kembali.

Perempuan itu, katanya, pernah punya janji yang masih diingatnya. Perempuan itu berjanji kalau ia akan datang di momen wisudanya. Entah, si perempuan itu masih ingat atau tidak.

"Paling tidak, karena pandemi, wisuda jadi online. Perempuan itu tak perlu meminta maaf karena tidak menepati janji datang di wisudaku."

Aku melihat laki-laki itu menghela napas panjang, selepas kata-kata itu terucap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun