Dimuat dalam KOMINFO dengan judul artikel Teknologi Masyarakat Indonesia : Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos, UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Jika tolak ukur kemajuan suatu bangsa adalah kedekatan masyarakatnya dengan buku, maka bisa dibenarkan rendahnya tingkat literasi Indonesia sangat memprihatinkan. Dari kacamata saya sendiri, saya memikirkan kemungkinan penyebab rendahnya tingkat literasi. Kemungkinan tersebut adalah kurangnya keinginan membaca, atau bisa juga karena kurangnya buku bermutu yang ada di negara kita sendiri.
Banyak kemungkinan mengapa kedua hal tersebut bisa terjadi. Bisa saja kurangnya buku bermutu di negara kita disebabkan rasa kecewa para penulis yang merasa naskahnya tidak dihargai oleh khalayak umum karena maraknya plagiasi serta buku bajakan yang beredar. Maka regulasi perbukuan yang telah disusun berfungsi di sini. Ada tiga peratuan perundang-undangan yang terkait langsung dengan dunia perbukuan, UU No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta, UU No. 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan dan Peraturan Pemerintah No. 75 tentang Peraturan pelaksanaan UU No. 3 tahun 2017.
Ketiga regulasi tersebut seharusnya cukup berperan dalam peningkatan jumlah buku bermutu. Setidaknya para pelaku perbukuan mempunyai pegangan dan jaminan untuk setiap karyanya.
Buku bermutu tentunya sangat penting bagi masyarakat, karena jika buku ditulis tanpa memperhatikan standar buku, kaidah buku dan kode etik perbukuan, maka akan banyak informasi menyimpang yang beredar. Selain itu, bisa jadi masyarakat beralih pada buku yang tidak bermutu dan informasi menyimpang yang mereka dapatkan dari buku tidak bermutu tersebar luas. Hal tersebut tentunya akan menjadi sarana hoax atau berita bohong semakin beredar di kalangan masyarakat.
Maka dari itu, menurut saya, pelaku perbukuan harus mendapatkan pembinaan. Karena mereka akan bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis atau ketik di kemudian hari. Setidaknya mereka harus mengetahui dasar penilaian buku mengenai syarat isi buku yang terdapat dalam UU no. 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan terkait norma, Hak Cipta terkait penghindaran plagiarisme, standar dan kaidah, kode etik pelaku perbukuan serta perjenjangan buku.