Dikutip dari Pasal 1 nomor 23 undang-undang no. 3 tahun 2017, buku bermutu adalah buku yang memenuhi standar mutu yang mencakup isi, penyajian, desain dan grafika.
Pertanyaannya, bagaimana sebuah buku bisa disebut sebagai buku bermutu? Lantas, bagaimana regulasi dapat berpengaruh terhadap peningkatan mutu buku?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai buku bermutu, mari terlebih dahulu kita bahas mengenai pengertian mutu itu sendiri. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutu memiliki arti baik buruk suatu benda atau kualitas dari suatu benda. Jadi, buku bermutu juga bisa diartikan sebagai buku yang memiliki kualitas.
Menulis ulang mengenai pengertian buku bermutu menurut undang-undang sistem perbukuan, buku bermutu adalah buku yang ditulis dan diterbitkan sesuai dengan standar, kaidah dan kode etik perbukuan. Ada sepuluh pelaku yang terlibat di dalamnya, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, illustrator, desainer, penerbit, pencetak, toko buku, dan pengembang buku elektronik.
Dari pengertian di atas, ada tiga poin yang bisa kita sorot. Di antaranya adalah standar buku, kaidah buku dan kode etik perbukuan. Ketiga hal tersebut merupakan kriteria yang menentukan apakah buku tersebut layak dibilang sebagai buku bermutu atau tidak.
Saya akan menguraikan ketiga kriteria buku bermutu tersebut secara ringkas. Pertama, dimulai dari standar buku. Standar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan standar dalam kriteria buku bermutu merupakan acuan minimal yang harus dipenuhi sebagai syarat buku bermutu.
Standar perbukuan sendiri mencakup, standar penulisan; standar penerjemahan dan penyaduran; standar penerbitan: penyuntingan, pengilustrasian, dan pendesainan; standar produksi: percetakan dan pengembangan buku elektronik.
Kedua, ada kaidah buku. Kaidah merupakan aturan-aturan, baik berupa konvensi atau konsensus yang harus dipenuhi untuk menghasilkan buku bermutu. Sedikit tambahan, konvensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti permufakatan atau kesepakatan, dan consensus memiliki arti yang tidak jauh beda dengan konvensi, yaitu kesepakatan kata atau permufakatan Bersama, yang dicapai melalui kebulatan suara.
Kaidah yang dibahas sebelumnya adalah kaidah penulisan; kaidah penerjemahan dan penyaduran; dan kaidah penerbitan: penyuntingan, pengilustrasian, dan pendesainan.
Contoh kaidah di dalam perbukuan misalnya, penerapan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang mengacu pada pedoman badan pengembangan dan pembinaan Bahasa. Pedoman tersebut adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia atau yang lebih akrab disebut dengan PUEBI, Kamus besar Bahasa Indonesia atau KBBI dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Ketiga, atau yang terakhir adalah Kode etik. Kode etik adalah kode perilaku yang disepakati sebuah organisasi profesi sebagai perilaku positif. Tiga yang bisa saya sebutkan, yaitu Ikapi, APPTI dan Penpro.