[caption id="attachment_211268" align="aligncenter" width="560" caption="Sculpture unik di depan Perpustakaan Central Causeway Bay (dok. Aulia)Perpustakaan Umum Causeway Bay, Hong Kong (dok. Aulia)"]Suatu sudut di Causeway Bay, Hong Kong (dok. Aulia)
Ring..riing..riiing.. Alarm pagi membangunkanku lagi. Pagi yang keseribu sekian di negeri orang. Dari balik kisi-kisi ventilasi, kulihat sang surya tersenyum dengan gagahnya. Kutarik lagi selimut tebal yang melindungi kulitku dari semburan hawa pendingin ruangan.
Dari ketinggian lantai 7 di apartemen milik seseorang yang kusebut sebagai 'juragan', aku bisa melihat semburat warna merah terang membujur dari utara ke selatan. Pertanda fajar telah terbit.
Perlahan tapi pasti, si kecil mulai beringsut dari tempat tidurnya yang kusut. "Selamat pagii.." Didaratkannya sebuah kecupan di pelipis kiriku. Hmm..bahasa Indonesianya mulai membaik. Aku suka itu. Kemarin ketika kuajak dia berbelanja ke Park 'n Shop, seseorang sempat terpekik.
"Woww, 'anak' loe bisa ngomong Indonesia."
"Sedikit.. Itu juga masih cadel-cadel. Ketika dia harus ketemu sama huruf 'R', lidahnya ditekuk ke atas, seperti dia menyebut 'L'. Risol jadi lisol, rindu jadi lindu.."
Adalah sebuah rutinitas di Minggu pagi sebelum kukepakkan sayap kecilku keluar rumah. 'Menyeret' tangan-tangan mungil 'anakku' ke kamar mandi. Menyingkirkan kuman-kuman yang menempel di giginya yang rapi. Kalau dia merajuk, aku kan bernyanyi. Dari 'Little Peter Rabbit' sampai lagu 'impor' yang kuculik dari sebuah film anak Indonesia. "Ambilkan Bulan, Bu."
Pukul 10 lebih 25 menit di tikungan menuju Kimberly Road. Dengan mata menyipit kususuri jalanan yang panas tersiram terik matahari. Tiba-tiba mataku terantuk pada puluhan umbul-umbul yang berkibar, beraneka warna dan ukuran. Owh rupanya hari ini adalah hari pemilihan anggota legislatif. Pantas saja beberapa hari belakangan, sering kujumpai praktek kampanye. Dimana-mana ada. Pasar, pinggir jalan, jembatan penyeberangan, depan minimarket. Di mana sajalah.
Pernah kutemui keanehan. Satu dua kali, aku mendengar nyaring pengeras suara. Tertangkap di telingaku seseorang tengah berorasi, dengan bahasa kanton yang sulit kucerna artinya. Pastilah mengkampanyekan misi dan visi partainya. Kucari-cari sumber suara itu. Tak ada masa berkerumun, tak ada podium. Dari mana gerangan asal muasal suara gaduh itu? Ternyata itu berasal dari alat perekam. Alat itu digeletakkan begitu saja dibawah tiang lampu lalu lintas. Ealah...
Lima belas menit kemudian, aku telah berada di stasiun MTR Jordan. Eskalator panjang memindahkanku dari lantai atas ke platform. Dari sana aku melihat pintu-pintu MTR terbuka. Dalam waktu yang tak lebih dari dua menit, ratusan tubuh telah dimuntahkan.
Gaduh, tergesa-gesa. Semua berlomba melewati loophole. Dan setelah itu 'bummhh'. Suara dentuman pintu MTR yang terkatup kembali. Ah tiba-tiba aku ingat pesan singkat dari temanku minggu lalu.
"Ada orang kecepit pintu MTR!"
"Haaa? Dimana..dimana itu?"
"Shau Kei Wan."
"Gimana..gimana keadaannya sekarang?"
"Udah diangkut ambulan. Yang aku tahu begitu 'nyadar' ada orang kejepit, pintu MTR-nya mbuka lagi. Trus semua orang ribut. Tau-tau, serombongan petugas datang membawa tandu."
Ngeri jadinya inget pesan pendek temanku minggu lalu. Maka aku selalu berusaha sekalem mungkin ketika memasuki kereta. Begitu sirine tanda keberangkatan dibunyikan, aku lebih memilih mundur. Bukan berebutan masuk.
Causeway Bay. Tujuanku kali ini. Sebuah bank swasta yang berkantor dekat kantor konsul RI itulah tujuanku. Saatnya menambah pundi-pundi yang lama menunggu untuk diisi. Selama perjalanan, kuedarkan pandanganku. Mataku terantuk pada gadis berbaju seksi. Gaun hitam ketat strapless tampak manis membalut tiap lekuk tubuhnya. Stiletto yang sepertinya bermerek tampak membalut kakinya. Dan sebuah tato cupid melintang manis di punggungnya yang terbuka.
"Mas, aku tes kirim duit patang puluh juta. Bar iki ojo njaluk-njaluk neh. Sebah aku nuruti karepmu." (Mas, aku baru saja kirim uang empat puluh juta. Habis ini jangan minta-minta lagi. Muak aku menuruti kemauanmu)
Gadis itu berbicara dengan sebuah 'Galaxy' tipe terbaru melekat di telinganya. Ah, dia bukan berbicara. Tapi tepatnya lagi marah-marah sama seseorang yang dipanggilnya 'mas' diujung telepon sana.
Lepas tatapanku dari sang gadis. Benarkan dia gadis? Atau Ibu? Ah entahlah aku tak mau menyimpulkan. Yang jelas sekarang keretaku t'lah berada di Causeway Bay! Saatnya mencari celah diantara lautan manusia yang seperti terperangkap di dalam kotak. Berjejalan! Haah..betapa aku tak pernah menyukai Causeway Bay!
Kasir bank yang berbahasa Indonesia dengan logat sunda itu melayaniku dengan bersahabat. Karena hari ini setoranku agak banyak, dia juga menghadiahi aku sebuah botol plastik cantik. Tentunya tak lebih cantik dari sang nasabah. :D
Siang telah mencapai puncaknya. Sengatannya seolah hendak menghanguskan kulitku. Berteman payung biru dan sebuah kaca mata hitam yang sekrupnya nyaris lepas satu, kulajukan langkahku menyusuri Causeway Road. Kali ini tujuanku adalah perpustakaan. Inilah tempat ternyaman untuk menghindari terik dan hujan. Sekalian aku bisa mengintip buku-buku yang sekiranya bisa kuboyong pulang. Si 'lapie' yang tak pernah punya modem ini juga bisa numpang pakai wi-fi. Demi menyenangkan pemiliknya yang doyan sekali browsing kanan kiri.
Sembari memindahkan letak tas gamblok dari punggung ke depan, aku layangkan pandanganku ke seberang jalan. Di sanalah Victoria Park. Tempatnya beribu-ribu buruh migran sepertiku menghabiskan waktu liburnya. Berbagai kesibukan terlihat di sana. Dari yang sekedar gelar tikar atau plastik untuk rebahan, sampai maraknya pedagang dadakan.
"Awas! Ada Pak Dhe!" Seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Memberi instruksi kepada para pedagang dadakan untuk menutupi dagangannya. 'Pak Dhe' yang dimaksud adalah polisi. Yang bisa berpatroli kapan saja. Aksi kucing-kucingan kerap kali jadi peristiwa yang menimbulkan cekikikan, kalau para pedagang dadakan berhasil mengelabuhi polisi. Tapi jadi berubah getir, kala polisi menangkap basah transaksi jual beli mereka. Dagangan bisa diangkut, kena denda atau bahkan hukuman kurungan. Hiii..takuutt.
Kulewati sudah Victoria Park dengan segala dinamikanya. Sebelah kiri jalan dekat eskalator menuju pintu utama perpustakaan, mataku terantuk pada sebuah 'perpustakaan lesehan' milik BMI. Perpustakaan Insani namanya. Aku melihat semangat belajar sekaligus berbagi yang terpancar dari raut wajah pengurus-pengurusnya. Tempatnya ya seperti ini. Cuma nyempil di pinggir jalan. Mbak-mbak yang melayani juga asik dlosoran saja. Diantara puluhan buku yang berjejalan di dalam koper, kulihat sebuah novel yang lama kucari. Novel yang belum lama ini kisahnya telah diangkat ke layar kaca. Si cantik Maudy Ayunda dan si ganteng Adipati Dolken berberan sebagai Kugy dan Keenan yang terjebak dalam gulatan perasaan cinta yang ajaib. Yup! Perahu Kertas!
Tanpa basi-basi panjang, segera kuutarakan niatku untuk meminjam novel itu. Tak ada syarat banyak yang diajukan si 'embak' untukku bisa membawa pulang si 'perahu'. Cukup menuliskan nama dan nomor telepon di selembar kertas yang sudah disediakan.
Tsim Tsa Tsui, 9 September 2012