Setelahnya Irma menjadi linglung. Dia panik. Hak nya untuk tinggal di Hong Kong menjadi sangat terbatas setelah dia di-terminate. Maka iapun segera mencari job baru. Untuk sementara pekerjaan sampingannya dihentikan.
Irma pun mendatangi sebuah employment agency. Agen tersebut kemudian menawarkan satu pekerjaan untuk Irma. Menjadi "partner" seorang pria kewarganegaraan Amerika. "Mbak tahu nggak kalau banyak agen di Hong Kong yang menawarkan pekerjaan semacam ini? Pernah denger?" Irma seketika menanyakan hal ini kepada saya. "Iya pernah Mbak. Karena dulu saya juga pernah ditawari agen.
Oya mengenai "agen nakal" saya juga pernah memiliki pengalaman serupa. Ceritanya dulu ketika kontrak pertama saya hampir berakhir, saya berniat untuk mencari majikan lain. Nah di salah satu agen yang saya datangi ada sebuah penawaran kerja. Di situ saya di-interview langsung oleh calon majikan. Melalui sambungan telepon calon majikan itu (pria berkebangsaan Australia) memberi saya pertanyaan-pertanyaan "aneh". Diantaranya ; "What are you good at?" Jujur saya bingung gimana harus ngejawabnya. Lantas dengan ragu-ragu saya bilang "I'm good at looking after children." Mendengar jawaban saya dia malah tertawa terbahak-bahak. Lantas pertanyaan dia selanjutnya sungguh-sungguh membuat saya muak. "How 'bout making love? Are you good at it?"
Langsung saja saya tutup sambungan telepon itu dan bertanya kepada si agen. Bukannya meminta maaf, si agen malah menyalahkan saya karena saya dianggap tidak sopan dengan mengakhiri pembicaraan itu. Si agen bilang. Ini hanya penawaran. Kalau kamu mau ya ambil. Kalau kamu tidak mau ya tinggalkan. Toh misalnya kamu nggak mau, banyak teman-teman kamu yang mau! Masyaallah saya benar-benar kaget dengan ucapan agen itu. Kata-kata "banyak teman-teman kamu yang mau" itulah yang membuat saya shock. Dan memang kenyataan itu saya temui. Irma adalah buktinya. Salah satu dari "orang-orang" yang di sebut si agen tersebut.
Kembali kepada kisah Irma. Singkat cerita Irma akhirnya dipekerjakan pada seorang pria berkebangsaan Amerika. Sebut saja namanya David. Bersama David, Irma hidup bersama layaknya suami istri. David tetap membayar gaji Irma seperti apa yang tertera pada pada kontrak kerja sebagai domestic helper.
"Aku masih beruntung Mba'. Bojo-ku (David) nggak neko-neko. Dia memenuhi semua kebutuhanku. Termasuk biaya hidup kedua orang tua dan adik-adikku di kampung. Banyak loh embak-embak lain yang dikontrak dengan cara seperti ini, tapi oleh "partner" nya masih di jual lagi ke orang lain.."
Miris sekali saya mendengar cerita Irma. Saya sempat bertanya kepadanya tentang pilihan. Kenapa dia tak memilih pekerjaan yang "benar"? Toh banyak peluang di sini. Irma bilang, dia sudah terlanjur basah ya sudah nyemplung sekalian sajalah! Bukannya dia tak mau kerja jadi pembantu lagi. Tapi dia bilang gaji yang diperolehnya sungguh tak cukup untuk membiayai hidup seluruh keluarganya di kampung. Dia menjadi tulang punggung keluarga. Hmmm..alasan klasik. Tak ada lagi yang bisa saya katakan. Saya juga nggak ingin menggurui atau sok bijak. Yang saya tahu dia bercerita panjang lebar untuk sekedar meringankan bebannya.
Diakhir cerita, dia menghela nafas panjang. Dengan sedikit menahan airmata yang hendak meloncat keluar, dia berkata : "Mbak, makasih ya udah mau ndengerin curhat saya. Nggak tahu kenapa kok saya merasa lega. Jujur Mbak, saya takut kalau bapak sama ibu saya tahu tentang pekerjaan saya yang sebenarnya di sini.."
Hampir 1 jam lamanya kami berbincang di tempat itu. Agak canggung juga berlama-lama. Tak enak dengan pengunjung yang lainnya. Maka sayapun berpamitan kepada Irma. Sebelum saya melangkah jauh, Irma memanggil saya dan berkata sesuatu. "Mbak, soal tawaran saya yang tadi lupakan saja ya..!" Saya mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju. Sembari tersenyum saya lambaikan tangan saya kepadanya sebagai ganti dari ucapan selamat tinggal.
Irma, satu penggalan kisah yang terkesan sangat "memalukan" untuk diceritakan. Tapi inilah faktanya. Banyak rekan-rekan kita yang terjerumus di lembah nista di negeri orang. Pemenuhan kebutuhan hidup memang menjadi alasannya. Atau lebih tepat dibilang sebagai dalih saja. Apalagi di sini banyak perantara seperti agen tenaga kerja yang aktif mendukung "bisnis haram" ini.
Memang pada akhirnya dikembalikan lagi kepada diri kita masing-masing. Apapun alasannya, kesulitan hidup hendaklah tidak kita jadikan alasan untuk menempuh jalan pintas dan mengorbankan segala sesuatunya. Harga diri, masa depan dan tentu saja tanggung jawab moril kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.