3. Hubungan dengan “Amor Fati”
Konsep “Amor Fati” (mencintai takdir) adalah bentuk tertinggi dari sikap Ja Sagen. Nietzsche tidak hanya ingin kita menerima nasib, tetapi juga mencintainya sepenuh hati, termasuk penderitaan dan kesedihan di dalamnya.
Ia berkata:”Amor Fati: may this be my love! Not merely to bear what is necessary, but to love it.”(Amor Fati: semoga inilah cintaku! Bukan hanya menanggung apa yang harus diterima, tetapi juga mencintainya.)
Amor Fati adalah cara berpikir positif tingkat tinggi, di mana kita tidak hanya menerima segala hal yang terjadi dalam hidup, tapi juga melihatnya sebagai bagian yang indah dan bermakna.
4. Hubungan dengan Pemikiran Demokritos
Nietzsche juga sejalan dengan pemikiran Demokritos, yang menyatakan bahwa segala sesuatu tersusun dari atom yang tidak bisa dipecah. Dari sana, Nietzsche melihat bahwa kehidupan juga merupakan satu kesatuan utuh, yang tidak bisa dipisah antara hal baik dan buruk.
Ia menolak pembagian moral tradisional yang memisahkan hidup menjadi “baik” dan “buruk”. Menurutnya, semua pengalaman suka maupun duka harus diterima sebagai satu kenyataan yang utuh.
5. Contoh Penerapan
Seorang individu tiba-tiba kehilangan pekerjaan.
Sikap umum (reaktif):
Dia merasa hancur, marah terhadap nasib, atau menyalahkan keadaan.
Sikap “Ja Sagen” dan “Amor Fati”:
Dalam benaknya ia berkata:
“Ini adalah bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan menyambut pengalaman ini dengan kasih, sebagaimana aku menghargai keberhasilan. Dari sini aku akan belajar dan bangkit kembali.”
Dengan pendekatan ini, dia meneguhkan sikap afirmatif terhadap hidup (affirmation of life), tidak menyerah terhadap penderitaan, dan tetap kreatif dalam menghadapi realitas.
6. Kesimpulan
Gagasan “The Will to Power”, “Ja Sagen”, dan “Amor Fati” membentuk cara pandang hidup yang sangat optimistis dan membangun.
•Hidup perlu dijalani dengan keyakinan penuh dan diterima secara sadar.
•Setiap peristiwa, termasuk penderitaan, merupakan bagian dari energi kreatif yang membentuk kehidupan.
•Dengan mencintai takdir, seseorang dapat menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan jujur pada dirinya sendiri.
Nietzsche ingin agar manusia mampu berkata:
“Inilah hidupku — dengan segala kebahagiaan dan kesedihannya — dan aku menerimanya dengan sepenuh hati.”