Gizi remaja sering kali menjadi penentu kualitas generasi mendatang. Di usia yang penuh dinamika, remaja membutuhkan asupan makanan yang seimbang untuk mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif, serta kesiapan mereka menghadapi tantangan di masa depan. Namun, kenyataannya tidak semua remaja memiliki kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan gizinya. Perbedaan lingkungan, akses pangan, hingga pola konsumsi menjadikan isu gizi remaja sebagai persoalan yang layak mendapat perhatian khusus.
Secara global, masalah gizi pada remaja masih menjadi isu kesehatan yang serius. Menurut laporan UNICEF 2013, bahwa anak dan remaja menghadapi triple burden of malnutrition, yaitu undernutrition dalam bentuk stunting dan wasting, defisiensi mikronutrien seperti anemia, serta meningkatnya prevalensi overweight dan obesitas (UNICEF, 2013). Kompleksitas masalah ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya terkait dengan kecukupan asupan harian, tetapi juga dengan berbagai faktor yang memengaruhi pola konsumsi dan kesehatan remaja.
Dalam kerangka konseptual UNICEF, status gizi remaja ditentukan oleh tiga lapisan faktor. Pertama, determinan langsung berupa pola makan dan praktik perawatan harian yang secara langsung memengaruhi kecukupan gizi. Kedua, determinan menengah yang meliputi ketersediaan pangan, akses terhadap layanan gizi dan kesehatan, serta lingkungan yang mendukung pola makan sehat. Ketiga, determinan dasar atau struktural yang mencakup kondisi sosial-ekonomi, budaya, serta lingkungan geografis (UNICEF, 2021). Variasi status gizi tersebut tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor geografis, kondisi sosial-ekonomi, dan kebiasaan makan sehari-hari.
Dalam konteks Indonesia, kondisi geografis memberikan dampak nyata terhadap asupan makanan remaja. Menurut penelitian Herdiansyah, remaja di wilayah pesisir lebih mudah memperoleh ikan dan hasil laut, sedangkan remaja di wilayah daratan cenderung mengandalkan sayur dan buah (Herdiansyah et al., 2025). Perbedaan lingkungan ini menunjukkan bahwa kerangka UNICEF dapat membantu menjelaskan variasi status gizi remaja dan asupan makanan, serta mengarahkan intervensi yang lebih kontekstual antara daerah pesisir dan daratan.
Perbedaan tersebut menjadi dasar penting untuk melakukan kajian yang membandingkan status gizi dan asupan makanan remaja pesisir serta daratan, guna melihat bagaimana lingkungan memengaruhi pola konsumsi dan kesehatan mereka. Hasil analisis diharapkan dapat menjadi landasan dalam merumuskan strategi perbaikan gizi remaja yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan konteks geografis.
Penelitian N. I. Sari et al., 2025 menunjukkan bahwa status gizi remaja dipengaruhi oleh pola konsumsi, terutama kecukupan asupan energi, serta kondisi ketahanan pangan rumah tangga yang mencerminkan ketersediaan pangan di lingkungan tempat tinggal mereka (N. I. Sari et al., 2025). Selain itu, menurut FAO, 2022 menekankan bahwa pangan akuatik memberikan kontribusi signifikan terhadap ketersediaan protein berkualitas tinggi serta menjadi bagian penting dari ketahanan pangan, terutama di wilayah pesisir (Of, 2022). Remaja yang tinggal di wilayah pesisir umumnya memiliki akses lebih mudah terhadap sumber protein hewani, terutama ikan dan hasil laut lainnya. Menurut penelitian Maulu et al., 2021 konsumsi ikan penting karena merupakan sumber protein berkualitas tinggi serta mikronutrien esensial yang berperan dalam pertumbuhan dan kesehatan remaja (Maulu et al., 2021). Di tingkat lokal, pola konsumsi masyarakat pesisir Indonesia menunjukkan bahwa hasil laut merupakan bagian integral dari diet sehari-hari. Sebagai contoh, penelitian Soselisa et al., 2021 di Ambon mencatat bahwa komunitas pesisir sering menyebut diri sebagai 'fish-eaters' karena ketergantungan pada seafood untuk konsumsi harian, dan banyak hasil laut diperoleh dari tangkapan lokal komunitas mereka sendiri (Soselisa et al., 2021). Oleh karena itu, remaja yang tinggal di kawasan pesisir secara logis cenderung memiliki akses lebih mudah ke sumber protein hewani tersebut.
Menurut artikel Liu et al., 2024 konsumsi ikan menyumbang sekitar 20% dari asupan protein hewani di dunia, dan proporsi ini dapat mencapai lebih dari 50% di negara atau komunitas pesisir (Liu et al., 2024). Kondisi ini menjadikan remaja yang tinggal di wilayah pesisir relatif lebih tercukupi dari sisi kebutuhan protein. Menurut artikel Sheffield et al., 2024 makanan nabati, seperti buah, sayur, dan biji-bijian, merupakan sumber utama serat dan vitamin tertentu, khususnya vitamin C, yang tidak ditemukan dalam produk hewani (Sheffield et al., 2024). Oleh karena itu, pola konsumsi yang terlalu dominan pada pangan hewani tanpa diimbangi asupan nabati berisiko menurunkan kecukupan serat serta vitamin. Sehingga, Kekurangan mikronutrien menjadi potensi masalah gizi pada kelompok remaja pesisir.
Sebaliknya, remaja di wilayah daratan lebih banyak bergantung pada hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan, dan serealia sebagai sumber energi utama. Menurut penelitian P. Sari et al., 2022 Â pola diet di daerah pedesaan sangat bergantung pada produk pertanian lokal dengan akses terbatas terhadap pangan hewani (P. Sari et al., 2022). Menurut penelitian Beal & Ortenzi, 2022 asupan ini berkontribusi positif terhadap kecukupan serat dan sejumlah mikronutrien nabati (Beal & Ortenzi, 2022). Akan tetapi, pada penelitian Veronika et al., 2021 keterbatasan akses terhadap sumber protein hewani membuat kelompok ini rentan mengalami kekurangan protein, terutama bila asupan nabati tidak cukup dikombinasikan dengan pangan hewani dari ternak darat atau sumber lain (Veronika et al., 2021). Akibatnya, kondisi diet yang berbeda ini menjadi dasar untuk memahami mengapa status gizi remaja di pesisir dan daratan menunjukkan pola yang berbeda.
Jika dilihat dari indikator gizi, seperti Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), prevalensi anemia, serta kasus stunting dan gizi lebih, tampak perbedaan pola antara remaja pesisir dan daratan. Penelitian yang di lakukan Beal & Ortenzi, 2022 tentang kepadatan mikronutrien prioritas dalam pangan menunjukkan bahwa variasi asupan mikronutrien yang tinggi umumnya diperoleh dari kombinasi konsumsi makanan hewani dan sayuran hijau gelap, yang berbeda secara regional. Mereka menjelaskan bagaimana keterbatasan akses terhadap protein hewani dapat menyebabkan masalah kekurangan gizi, sementara variasi mikronutrien cenderung lebih baik pada populasi dengan akses lebih beragam terhadap sumber makanan (Beal & Ortenzi, 2022). Sehingga, ini menilai pentingnya makanan hewani dan sayur hijau dalam memenuhi kebutuhan gizi terutama di negara berkembang dan bagi kelompok rentan termasuk remaja. Dengan demikian, variasi asupan makanan menjadi faktor kunci yang harus diperhatikan saat menilai status gizi remaja.
Asupan makanan remaja sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis. Remaja di wilayah pesisir umumnya lebih mudah memperoleh sumber protein hewani, khususnya ikan dan hasil laut, sehingga asupan proteinnya relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. Penelitian Yuliantini et al., 2022 menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah pesisir memiliki ketergantungan tinggi pada pangan laut, tetapi masih menghadapi risiko food insecurity akibat rendahnya diversifikasi pangan (Yuliantini et al., 2022). Kondisi ini berimplikasi pada asupan gizi remaja, di mana pembatasan konsumsi pangan nabati, terutama sayur dan buah, dapat meningkatkan risiko kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral.