Mohon tunggu...
Charles Tobing
Charles Tobing Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aut viam inveniam aut faciam

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Layakkah Mereka Menjadi Penentu?

29 September 2014   23:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:01 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menambah hiruk pikuk terkait dengan hasil rapat paripurna DPR tanggal 25 September 2014 yang memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada)  akan dilaksanakan oleh DPRD, muncul pertanyaan apakah para anggota legislatif layak dipercaya untuk menentukan pemimpin pemerintahan di daerah? Apakah sistem sekarang sudah menghasilkan anggota legislatif yang benar-benar mewakili rakyat?

Sebagaimana yang sudah diketahui secara umum, dalam pemilihan anggota legislatif, para pemilih pada dasarnya hanya disodori dengan nama-nama caleg pada pemilu legislatif. Jarang sekali pemilih yang benar-benar mengenal caleg di daerahnya.  Sejak berhak memilih sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, penulis tidak pernah sekali pun mendapatkan kunjungan atau mendengar bahwa ada caleg yang berkunjung ke area tempat tinggal penulis untuk memperkenalkan diri dan program-programnya.

Hal ini tidak terlepas dari faktor subyektivitas dalam proses perekrutan dan penentuan caleg oleh partai politik sangat mungkin terjadi. Tidak jarang partai politik mengajukan caleg hanya karena tingkat popularitas seseorang tanpa melihat kualifikasi, kompetensi dan rekam jejak yang bersangkutan. Maka tidak heran jika ada caleg yang bahkan tidak mengetahui apa visi dan misi partai politik yang mengusungnya.

Sepanjang sepengetahuan penulis, tidak ada satu partai politik pun di Indonesia yang mensyaratkan kurun waktu minimum yang harus dilalui oleh seorang caleg sebagai anggota aktif partai. Maka tidak mengherankan juga jika tiba-tiba seorang artis atau pengusaha tiba-tiba terdaftar namanya menjadi caleg dari partai. Belum lagi adanya unsur nepotisme dan kedekatan dengan pimpinan partai. Suami, istri, anak, keponakan, sepupu, ipar, tetangga, dan teman sekolah menjadi faktor yang menentukan dalam penentuan caleg.

Selanjutnya menjelang berlangsungnya pemilihan, para caleg tersebut sibuk mencari simpati pemilih dengan menebar janji-janji dan uang. Para calon petahana (incumbent) akan memanfaatkan wewenang dan akses ke informasi yang dimilikinya untuk membuat atau menunggangi program-program pemerintah termasuk penyaluran dana-dana bantuan sosial. Pembuatan atau perapihan jalan, pembangunan atau renovasi sekolah atau fasilitas umum lainnya di daerah pemilihan menjadi “modus” para calon petahana untuk mendapatkan suara.

Sedangkan bagi para calon baru, mereka harus mengeluarkan dana dalam bentuk partisipasi dalam program-program partai, pemasangan baliho, pembuatan atribut-atribut dan souvenir kampanye, mendanai kegiatan-kegiatan kampanye pribadi dan tentunya menyiapkan dana untuk serangan fajar. Kemudian untuk pelaksanaan pemilu sendiri, para kandidat harus melakukan lobi-lobi kepada partai politik untuk meminta jatah kursi saksi partai. Jelas semuanya membutuhkan dana yang tidak kecil.

Dengan kondisi sistem seperti di atas dan melihat perilaku anggota DPR selama ini, dilihat dengan logika Input-Proses-Output, dimana caleg sebagai input dan pemilu sebagai proses, maka dapat diperkirakan output dari sistem tersebut akan bagaimana. Jika inputnya tidak benar, maka dapat dipastikan outputnya juga tidak benar. Apalagi jika prosesnya juga tidak benar, maka outputnya pasti akan lebih amburadul.

Jika kemudian seorang caleg terpilih, maka wajar dipertanyakan apakah yang bersangkutan rela bahwa dana yang digunakan untuk proses pemilihan akan hilang?  Dana itu pasti tidak akan tergantikan oleh gaji dan tunjangan yang akan diterimanya sebagai anggota legislatif. Atau sebaliknya, dia akan mencari cara untuk mengembalikan uang telah terpakai secepat-cepatnya? Kira-kira, kemungkinan mana yang peluangnya lebih besar?

Memang akan selalu terdapat pengecualian, dimana terdapat anggota badan legislatif yang terpilih tidak melalui politik uang dan memang berniat mengabdi kepada bangsa dan negara. Tetapi seberapa besar kekuatan mereka untuk melawan kekuatan partai jika terdapat kebijakan atau keputusan partai yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka? Belakangan ini saja masyarakat dipertontokan bagaimana partai dapat membatalkan pelantikan caleg yang terpilih bahkan memecat kadernya sebagai anggota.

Artinya, kebijakan partai akan sangat tergantung pada segelintir pimpinan partai yang sarat dengan kepentingan pribadi dan tentunya berpotensi untuk membuat keputusan yang subyektif. Sementara itu, seseorang yang bahkan sudah menjadi tersangka pidana korupsi saja masih bisa tetap menjadi ketua umum partai politik dengan dalih belum ditetapkan bersalah secara hukum. Bagaimana mungkin yang bersangkutan melepaskan diri dari kepentingan pribadi saat melakukan kegiatan politiknya?

Dengan kondisi di atas, yang tentu saja juga dapat diperdebatkan, apakah layak anggota DPRD yang masih dipertanyakan integritasnya layak di percaya untuk menentukan pucuk pimpinan  pemerintahan di daerah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun