Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Siasat Menghadapi Atasan yang Gila Kerja

17 November 2021   22:54 Diperbarui: 18 November 2021   07:31 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja (Sumber: DragonImages via lifestyle.kompas.com)

Suka atau tidak suka, baik atau buruk, atasan adalah panutan di tempat kerja. Dialah yang menjadi cermin tempat para bawahannya berkaca. 

Ia adalah referensi dan refleksi dari kecepatan bekerja dan mengeksekusi pekerjaan, kesigapan mengambil keputusan, hingga bagaimana membangun dan melibatkan diri dalam kultur pekerjaan.

Tidak semua atasan meninggalkan kesan baik di mata para bawahannya. Tidak semua atasan bisa terlihat menyenangkan di hadapan segenap karyawan. Alasannya bisa macam-macam, sebabnya pun beragam. Baik datang dari atasan bersangkutan, maupun dari pihak bawahan.

Terlepas dari soal yang satu ini, citra atasan sebagai mercusuar di tempat kerja, kadang kala membuat karyawan merasa dilema. Bila atasan gila kerja, maka sang karyawan yang tak bisa berdaptasi akan kewalahan.

Apakah sang karyawan harus meniru gaya serupa? Atau ia akan memilih untuk bertahan dengan gayangnya sehingga akan terlihat seperti pemalas?

Apakah seorang karyawan harus mencocokan jam kerjanya agar selaras dengan atasan? Atau perlukah ia mulai bekerja lebih awal dan berakhir lebih larut agar tak membangun kesan buruk di mata sang atasan?

Lebih dari itu, bila atasannya adalah sosok "workaholic", maka sudah sepatutnyakah ia diganggu kapan saja? Apakah menerima panggilan di luar jam kerja sebagai sesuatu yang wajar? Bekerja lembur adalah hal yang tak perlu dipertanyakan?

Saya banyak mendengar curhatan dari rekan-rekan yang bekerja di berbagai bidang pekerjaan tentang bagaimana iklim kerja mereka, terutama di masa pandemi ini. 

Bekerja dari rumah (Work from Home) sebagai sistem kerja di masa "pageblug" ini justru membuat beban kerja mereka semakin bertambah.

Ada yang mengeluh kesulitan membagi waktu dengan urusan keluarga karena tugas menumpuk. Waktu yang seharusnya memberinya kelegaan untuk menarik nafas dan beristirahat justru digerus oleh pekerjaan kantor.

Urusan pekerjaan dan banyaknya "deadline" mengokupasi hampir sebagian besar waktu. Prinsip "work-life balance" kemudian terdengar sebagai slogan kosong. Hidup adalah bekerja terdengar lebih relevan.

Sejumlah siasat

Tidak sedikit karyawan menganggap hal-hal tersebut sebagai sebuah kewajaran. Mereka begitu memaklumi sikap atasan yang begitu menuntut dan selalu mengganggu mereka seperti tak mengenal ampun, sebabnya macam-macam. Mulai dari rasa sungkan, tidak enak hati, hingga rasa takut dinilai buruk.

Namun, tidak sedikit pula karyawan yang diam-diam mempertanyakannya, atau meluapkannya secara terang-terangan. 

Kelompok ini tak peduli dengan berbagai dampak yang mungkin akan terjadi. Bagi mereka lebih penting angkat bicara ketimbang dibungkam begitu saja.

Ilustrasi (Sumber: Thinkstockphotos via lifestyle.kompas.com)
Ilustrasi (Sumber: Thinkstockphotos via lifestyle.kompas.com)
Apakah mereka yang mempertanyakan keadaan yang memberatkan itu pantas dihakimi sebagai pemberontak?

Tentu tidak. Setiap pekerjaan memiliki batasan. Setiap karyawan memiliki hak dan kewajiban tertentu. Begitu juga atasan yang notabene adalah karyawan, kecuali ia adalah pemilik perusahaan.

Bila demikian bagaimana siasat yang tepat untuk menghadapi situasi dilematis seperti ini?

Pertama, keterbukaan. Seorang karyawan mungkin tak pernah mengetahui lebih jauh latar belakang atasannya. 

Atasannya bisa bekerja melebihi batas waktu bisa saja karena statusnya yang masih lajang, tidak memiliki anak, tidak memiliki hewan peliharaan, tidak memiliki tanaman, dan tidak tertarik melakukan aktivitas di luar urusan profesional.

Atasan mungkin terlanjur terpenjara dalam ritme dan irama kerja yang sudah ia bangun sendiri tanpa menyadari bagaimana repot dan kewalahannya para bawahan.

Karena itu, penting untuk berbicara terbuka dan jujur dengan sang atasan terkait beban kerja. Kita tidak akan tahu semua itu kecuali kita bertanya, bukan?

Kedua, membuat batasan. Selama seorang karyawan melakukan pekerjaan dengan baik dan bisa memenuhi harapan, maka ia perlu membuat batasan untuk diri sendiri.

Misalnya, tidak membalas email yang diterima di luar jam kerja atau pada akhir pekan. Selanjutnya saat membalas email itu bisa dijelaskan alasan mengapa ia baru bisa membalasnya.

Ketiga, menunjukkan komitmen pada setiap pekerjaan. Setiap karyawan memiliki cara untuk menunjukkan pencapaiannya. 

Dengan mempelajari kecenderungan atasanya maka bisa diagendakan pertemuan atau laporan atas hasil pekerjaan. Dalam hal ini yang perlu ditonjolkan adalah hasil dan dampak bukan pada jam kerja.

Inilah kesempatan memberikan banyak informasi tentang kemajuan dan pencapaian kerja pada atasan yang gila kerja itu. Saat itulah seorang karyawan mempertaruhkan dedikasinya sekaligus menunjukkan komitmennya pada pekerjaan.

Kesempatan itu bisa dipakai untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang dirasa mengganggu, misalnya saja terkait jam kerja.

Bila ada pekerjaan tambahan yang sangat penting sang karyawan bisa memberikan alternatif penyelesaian yang bisa dipertimbangkan.

Itulah momentum pembuktian sang karyawan akan tugas yang dipercayakan bisa diselesaikan dengan baik bila aktivitas kerja lebih seimbang.

Riset sebelum melamar

Keempat, tidak semua hal bisa dinegosiasikan termasuk soal sikap atasan yang gila kerja. Tidak banyak pilihan yang bisa dibuat selain harus mengikuti setiap kata-katanya.

Jelas, hal-hal di luar batas kewajaran bisa mengangkangi prinsip-prinsip dan pilihan sang bawahan. Seorang karyawan bisa saja membuat batasan sendiri dan coba berpegang teguh pada batasan tersebut.

Misalnya, bersungguh-sungguh untuk tidak ingin bekerja melebihi waktu yang sudah digariskan dalam kesepakatan, tidak ingin diganggu saat hari libur atau kala akhir pekan, hanya akan menyelesaikan pekerjaan yang sudah disepakati, dan sebagainya.

Prinsip-prinsip ini tentu dibuat untuk melindungi hak-hak karyawan agar jangan sampai dilanggar. Lebih dari itu, tidak sampai membuat kehidupannya menjadi tidak seimbang. Mengutamakan pekerjaan kantor di atas segala-galanya. Urusan pribadi dan rumah tangga harus dikorbankan.

Dalam situasi tertentu, bila dirasa tidak ada jalan tengah yang bisa diambil antara batasan sang karyawan dan kehendak "workaholic" atasan yang tak bisa dibendung, maka tidak ada pilihan lain selain berkata cukup.

Memilih untuk hengkang sebelum pekerjaan itu menimbulkan masalah baru dalam kehidupan karyawan bisa menjadi pilihan terbaik.

Selain mengambil jalan terakhir yang tak mudah ini, kita sejatinya sudah bisa memetakan budaya kerja suatu perusahaan sebelum kita mengajukan lamaran.

Dari profil, cerita, dan referensi kita bisa mendapatkan gambaran terkait tempat kerja tertentu. Tidak hanya soal reputasi, gaji, tetapi juga soal beban kerja dan berbagai tuntutan lainnya.

Singkatnya, ada baiknya melakukan riset terlebih dahulu sebelum melamar atau menerima tawaran kerja. Selengkap-lengkapnya informasi yang didapat akan membantu kita membangun ekspektasi dan menyesuaikannya dengan target yang ingin dicapai.

Bila kita tahu seperti apa perusahaan yang akan kita gabung maka kita sudah bisa mempersiapkan diri, termasuk menghadapi berbagai kemungkinan yang kurang menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun