Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harus Bangkit walau Berat, Pelajaran Hidup dari Bencana NTT

7 April 2021   22:34 Diperbarui: 8 April 2021   20:06 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mensos Risma kunjungi korban banjir di Adonara dan Lembata NTT: gambar dan keterangan gambar Merdeka.com/ananias petrus

Kemiskinan yang tidak mengenal tempat. Tidak juga peduli pada waktu. Penambahan jumlah penduduk miskin tak lepas dari terjangan pandemi yang tak mengenal ampun pada warga NTT.

Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020, naik 1,84 persen menjadi 7,07 persen. Setahun sebelumnya, masih di 5,23 persen. Sekitar 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28 persen) terkena dampak Covid-19, mulai dari kehilangan pekerjaan, hingga dikurangi jam kerja dengan konsekuensi pemangkasan upah.

Potret statistik kemiskinan di NTT: nttpembaruan.com
Potret statistik kemiskinan di NTT: nttpembaruan.com

Sehari-hari mayoritas penduduk NTT begitu bergantung pada beras. Pengeluaran untuk kebutuhan makanan begitu tinggi sehingga ikut berkontribusi pada tingginya angka pengeluaran minimum. Selain banyak mengeluarkan uang untuk kebutuhan makanan, tingkat kebutuhan akan rokok kretek pun tak kalah tinggi dengan menyumbang garis kemiskinan sebesar lebih dari 6 persen.

Selain makanan dan non makanan di atas, kebutuhan akan perumahan masih menjadi perhatian banyak orang NTT. Coba kita bayangkan. Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 404.712/kapita/bulan, sementara rumah telah luluh lantak, dan area persawahan terancam puso, bagaimana mereka harus melanjutkan hidup?

Tidak merokok mungkin masih bisa ditahan. Tetapi urusan perut, jelas perkara yang tak bisa dikompromi. Dalam situasi seperti ini mana yang harus mereka dahulukan antara rumah, kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, atau kebutuhan papan dengan jumlah uang sekian terbatas, atau dalam keadaan tidak memiliki dasar untuk berharap karena telah kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian?

Sapa mo help?

NTT harus bangkit. Tapi untuk bangkit sendiri-sendiri dalam situasi serba sulit seperti saat ini jelas memberatkan. Bahkan tidak sedikit yang sudah mengibarkan bendera putih. Minta pertolongan. Kalau sudah begini, seperti judul lagi yang sempat viral di NTT, sapa mo help?

Saya cukup terharu dengan begitu besar dan luasnya solidaritas dan simpati yang mengemuka dalam hitungan jam. Di mana-mana orang berbicara tentang bencana di NTT dan beberapa tempat di NTB. Walau sempat merasa kecil hati dan perhatian karena pemberitaan yang terkooptasi dan tersandera oleh rating sinetron dan tayangan hajatan, belakangan ini perhatian pada NTT sedemikian masif.

Banyak cara dan bentuk yang bisa dibaca. Pertama, ungkapan keprihatinan dan bela rasa membanjiri linimasa sosial media belakangan ini. Datangnya dari mana-mana. Diserukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.

Tidak hanya berkata-kata. Tidak sedikit yang terderak untuk berbagi. Dari sejumlah postingan di sosial media, terlihat banyak bertebaran seruan solidaritas. Menyertai informasi terkait perkembangan situasi di beberapa tempat kejadian, ajakan untuk berdonasi baik pakaian, makanan, obat-obatan, hingga uang, disebarkan ke mana-mana. Gerakan ini tidak hanya diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemahasiswaan, komunitas religius, perkumpulan masyarakat atau anggota komunitas, tetapi juga oleh individu-individu tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun