Mohon tunggu...
Charisma Dina Wulandari
Charisma Dina Wulandari Mohon Tunggu... Public Relations Specialist

Experienced in Public Relations with a background in diverse industries such as startups, consulting, government and multinational company. Skilled in Media Monitoring, Media Analysis, Media Relations, Content Writer, Content Planning, Social Media Handling, Communication Campaign, Strategic PR Plan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia di Persimpangan : Antara Suara Rakyat dan Tembok Kekuasaan

6 September 2025   17:21 Diperbarui: 6 September 2025   17:21 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Charisma Dina Wulandari

Indonesia sedang berada di titik genting. Jalanan ibu kota dan puluhan kota besar lain dipenuhi suara-suara yang menuntut keadilan. Dari mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online, semua turun ke jalan membawa satu pesan yaitu ada yang salah dengan arah negeri ini. Awalnya, percikan api protes hanya soal tunjangan fantastis anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan, angka yang terasa seperti tamparan keras bagi jutaan rakyat yang bekerja dari pagi hingga malam demi sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Namun percikan itu berubah menjadi kobaran api kemarahan yang meluas, karena masyarakat merasa kekecewaan ini bukan lagi soal angka, melainkan soal harga diri.Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas tertabrak mobil taktis polisi, menjadi simbol luka kolektif bangsa. Namanya kini digaungkan dalam spanduk, mural, dan media sosial. Ia bukan sekadar korban; ia adalah wajah rakyat kecil yang seringkali dikorbankan demi stabilitas semu. Dan ketika aparat dituding bertindak represif hingga jatuh korban jiwa lainnya, kepercayaan publik pun semakin runtuh. Pertanyaan besar menggema, apakah negara ini masih berpihak pada rakyatnya?

Di tengah gelombang protes, Presiden Prabowo memang telah mencabut tunjangan DPR. Tapi bagi banyak orang, keputusan itu terasa terlambat dan tidak menyentuh akar masalah. Ketimpangan ekonomi masih menganga, akuntabilitas pejabat publik masih lemah, dan suara rakyat terlalu sering ditutup rapat oleh tembok kekuasaan. Sementara itu, dunia internasional justru menunjukkan solidaritasnya dengan cara unik, ribuan pesanan makanan dikirimkan ke para pengemudi ojek online di Jakarta oleh masyarakat global, seolah ingin berkata, "Kami melihat perjuangan kalian."

Fenomena ini memperlihatkan satu hal penting: rakyat tidak lagi pasif. Mereka bersatu, mereka berani bersuara, dan mereka tahu kekuatan kolektif bisa mengubah arah sejarah. Namun, di balik harapan itu, ada pula ketakutan, apakah suara rakyat akan dijawab dengan reformasi nyata, atau justru dibungkam dengan kekerasan?

Indonesia kini berada di persimpangan. Jalan pertama adalah keberanian pemerintah untuk membuka telinga, melakukan reformasi struktural, dan mengembalikan kepercayaan publik. Jalan kedua adalah menutup mata, melanjutkan pola lama, dan mempertaruhkan stabilitas demokrasi yang selama ini kita banggakan.

Pada akhirnya, pertarungan ini bukan hanya soal DPR, bukan hanya soal tunjangan, bahkan bukan hanya soal protes di jalanan. Ini adalah pertarungan tentang masa depan Indonesia. Apakah kita akan tumbuh menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat dan adil, ataukah kita terjebak dalam siklus kekecewaan tanpa ujung?

Namun, di balik hiruk pikuk itu, ada sisi lain yang jarang disorot, kegelisahan generasi muda. Mereka yang kini duduk di bangku kuliah atau baru saja masuk dunia kerja, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa jurang ketimpangan semakin nyata. Anak-anak pejabat bisa melenggang dengan kemewahan, sementara banyak anak bangsa harus berjuang dengan keterbatasan. Pertanyaan sederhana muncul di benak mereka, apakah kerja keras dan pendidikan cukup untuk menjamin masa depan, ataukah negeri ini memang hanya berpihak pada segelintir orang yang berkuasa?

Krisis kepercayaan ini semakin dalam ketika media sosial dipenuhi dengan tagar dan narasi protes. Dari #SaveIndonesia hingga #AffanKurniawan, dunia digital menjadi ruang baru bagi rakyat untuk bersuara. Di sini, tidak ada pagar tinggi gedung DPR yang bisa membatasi, tidak ada aparat yang bisa membubarkan. Dunia maya menjadi saksi bisu bagaimana keresahan rakyat terakumulasi, berubah menjadi energi kolektif yang mengguncang stabilitas politik.

Meski begitu, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa protes besar-besaran ini menyimpan risiko. Ekonomi bisa terguncang, investor bisa ragu, dan stabilitas politik bisa goyah. Tetapi bukankah lebih berbahaya jika kita terus menutup mata terhadap ketidakadilan? Sebab, sejarah membuktikan, bangsa yang mengabaikan suara rakyatnya justru akan runtuh oleh kekuatan yang lahir dari bawah. Maka, bukan protes yang harus ditakuti, melainkan ketidakmampuan negara untuk mendengar dan merespons dengan bijak.

Harapan tetap ada. Di tengah duka, kita menyaksikan solidaritas yang indah. Mahasiswa memberi tumpangan bagi buruh yang pulang larut malam, pengemudi ojek saling berbagi logistik dengan demonstran, dan masyarakat kecil membuka dapur umum di tengah kerumunan. Semua ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bangsa bukan terletak pada gedung tinggi, kursi empuk, atau pangkat, melainkan pada solidaritas dan kepedulian antar sesama.

Mungkin inilah momentum bagi bangsa Indonesia untuk bercermin. Demokrasi bukan sekadar ritual lima tahunan di bilik suara, melainkan janji bahwa suara rakyat adalah fondasi negara. Jika janji itu dikhianati, maka rakyat berhak menagih. Dan jika rakyat sudah bersatu menagih, maka sejarah mengajarkan, tidak ada tembok kekuasaan yang cukup kokoh untuk menahan gelombang perubahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun