Narasi ini coba mengingatkan, kita memulai perjalanan ini bukan dari kemenangan, tapi dari keberanian untuk mendengarkan. Cerita ini akan berjalan selama dua dekade yang akan kita arungi bersama. Bukan waktu yang jadi ukurannya, yang kita ukur adalah keberanian untuk jujur, untuk menyentuh luka tanpa menghakimi, untuk merangkul perbedaan tanpa syarat.
Dan, perlu kutegaskan, kita tidak sedang membangun narasi pahlawan, Disini kita membangun ruang bersama, tempat setiap anak bangsa bisa berkata: “Aku ada. Aku bagian dari cerita ini.”
Dengan mengucap Bismillah... aku membuka lembaran ini dengan hati. Dengan kesadaran bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bendera dan pidato, tapi tentang rasa memiliki, tentang hak untuk bermimpi, dan tentang ruang untuk menyembuhkan.
Surat dari Tanah yang Belum Sembuh
Kepada Indonesia yang bukan hanya sebuah nama.
Ia adalah kumpulan suara yang belum sempat didengar,
adalah luka yang belum sempat dirawat,
adalah harapan yang terus bertahan meski sering dilupakan.
Di ujung timur, seorang anak Papua bertanya,
"Kenapa aku selalu merasa jauh dari Indonesia, padahal aku lahir di sini?"
Di barat, seorang ibu Aceh menulis di secarik kertas,
"Kami pernah kehilangan segalanya, tapi tak pernah kehilangan cinta pada negeri ini."
Cerita ini bukan milik satu orang.
Ia milik mereka yang tak pernah masuk buku sejarah.
Ia milik anak-anak yang tumbuh di antara konflik dan doa.
Ia milik para penyandang disabilitas yang terus berjuang untuk didengar.
Ia milik kita semua—yang ingin Indonesia bukan hanya merdeka, tapi utuh.
Kita memulai perjalanan ini dengan mendengar.
Karena sebelum membangun, kita harus tahu apa yang telah runtuh.
Sebelum menyatukan, kita harus tahu apa yang telah terpecah.
Dan sebelum melangkah, kita harus tahu siapa yang tertinggal.
Ini bukan proyek dokumenter.
Ini adalah perjalanan spiritual, sosial, dan emosional.
Di dalamnya ada air mata, ada tawa, ada pertentangan, ada pelukan.
Ada sungai yang mengalir membawa cerita,
ada gunung yang menyimpan rahasia,
dan ada langit yang menunggu kita menuliskan ulang arti kemerdekaan.
Selama 20 tahun ke depan, kita akan berjalan bersama.
Menulis 100 langkah menuju Merdeka Seutuhnya.
Langkah yang tidak hanya mengubah narasi,
tapi mengubah cara kita melihat satu sama lain.
Jika kamu membaca ini, kamu telah menjadi bagian dari cerita.
Bukan sebagai penonton, tapi sebagai penulis sejarah.
Mari kita mulai. Dengan hati. Dengan keberanian. Dengan cinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI