"Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai (junnah), di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Jika ia memerintahkan dengan takwa kepada Allah dan berlaku adil, maka baginya pahala. Namun, jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka baginya dosa." (HR. Muslim)
Hadist ini menegaskan bahwa pemimpin, termasuk yang berasal dari militer, hanya akan menjadi pelindung yang adil jika ia berlandaskan takwa kepada Allah. Tanpa hukum Islam sebagai pedoman, kekuasaan akan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Sejarah mencatat bagaimana ketaatan kepada syariat menjadi faktor utama dalam keadilan kepemimpinan Islam.
Umar bin Abdul Aziz : Pemimpin yang Menolak Militerisme Tanpa Syariat
Umar bin Abdul Aziz (717--720 M) adalah contoh bagaimana seorang pemimpin yang memahami hakikat syariat Islam tidak akan menggunakan militer untuk menindas rakyatnya. Dalam catatan Ibn Kathir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Umar bin Abdul Aziz membatasi peran militer agar tidak menjadi alat penguasa untuk mengontrol masyarakat dengan tangan besi.
Bahkan beberapa ahli menganggap bahwa sikap Umar bin Abdul Aziz ini sebagai pengingat bahwa syariat jihad jangan sampai dikotori demi mendulang rampasan perang. Penyebaran Islam masih dapat diupayakan dengan langkah lain seperti futuhat, mendatangi masyarakat asing dengan kelembutan.
Sebagaimana riwayat ketika seorang gubernur yang diangkatnya bertindak zalim terhadap rakyat, Umar tidak mengerahkan pasukan untuk membungkam kritik, tetapi langsung mencopot gubernur tersebut. Beliau mengatakan:
"Perkuatlah bentengmu dengan keadilan, bukan dengan tembok tinggi."
Kutipan ini menunjukkan bahwa kekuatan militer dalam Islam tidak digunakan untuk menindas rakyat, tetapi untuk menjaga stabilitas dengan berlandaskan hukum dan keadilan.
Shalahuddin Al-Ayyubi: Militer sebagai Pelindung, Bukan Penindas
Barat mengenalnya dengan nama Saladdin. Tokoh Islam dengan background militer yang kuat. Namun tahukah kamu, bahwa sejarahnya membebaskan Palestina kembali ke tangan umat Islam dan lepas dari kezaliman dilalui penuh kesabaran dan kelembutan.
Beliau berhasil menyelesaikan konflik di sekeliling Palestina, sampai akhirnya sukses menyisipkan nama Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad agar masuk dalam doa-doa masyarakat Mesir yang masih dipenuhi Syi'ah. Dalam catatan Ibn Shaddad dalam Sirah Salahuddin dan Hugh Kennedy dalam The Armies of the Caliphs, disebutkan bahwa Shalahuddin tidak hanya terkenal karena keberhasilannya merebut kembali Yerusalem, tetapi juga karena sikapnya yang penuh kasih terhadap rakyat, termasuk terhadap non-Muslim.
Ketika pasukan Salib kalah di Hattin, ia tidak membalas dengan kebrutalan, tetapi tetap berpegang pada hukum Islam yang mengajarkan keadilan dan belas kasih.