Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jalan Sunyi Pocut Meurah Pupok (Bagian Pertama)

15 Mei 2020   20:18 Diperbarui: 18 Mei 2020   04:23 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pocut Meurah Pupok (republika.co.id)

Oleh: Chaerol Riezal*

Jika harus menyebutkan sesuatu, jawaban apa yang terpikirkan dalam benak Anda ketika mendengar nama "Peutjut atau Pocut Meurah Pupok"? Bila pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka akan saya jawab tiga hal: putra mahkota, kerkhoff, dan kesunyian.

Tiga hal itulah yang otomatis terpikirkan, dan juga paling mudah dipikirkan oleh saya saat menyebutkan nama Pocut Meurah Pupok. Kendati demikian, setiap orang -- terutama orang Aceh dan termasuk juga Anda -- tentu saja memiliki pandangan yang berbeda-beda ketika pertanyaan itu dilayangkan. Sebab persepsinya akan dibentuk sedemikian rupa dan didukung oleh banyak faktor.

Pocut atau Peutjut berasal dari bahasa Aceh, yang artinya adalah kesayangan. Jadi Pocut Meurah Pupok adalah anak kesayangan sekaligus putra mahkota dari penguasa Kerajaan Aceh Darussalam yang bertahta pada abad ke 16: Sultan Iskandar Muda.

Jika dilihat dari namanya saja, maka Pocut Meurah Pupok jelas bukanlah orang sembarangan. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki kepunyaan Sultan Iskandar Muda. Dan untuk alasan itulah, Sultan sangat menyayanginya dan memanggil Meurah Pupuok dengan sebutan Pocut.

Sampai di sini, hipotesis saya mengatakan bahwa besar kemungkinan Pocut Meurah Pupok sedang dipersiapkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menggantikan posisi sekaligus meneruskan perjuangan sang ayah, yaitu menjadi Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Sebab Pocut, konon merupakan satu-satunya anak laki-laki (semata wayang) dari Sultan Iskandar Muda.

Makam Pocut Meurah Pupok di dalam Kerkhof
Makam Pocut Meurah Pupok di dalam Kerkhof

Namun sayang, perjalanan hidup Pocut Meurah Pupok yang notabene anak kesayangan dan putra mahkota Sultan Iskandar Muda itu, berakhir cukup mengerikan. Bahkan ending dari hidup Pocut harus berakhir diujung pedang sang ayah, karna ia dipancung oleh ayahnya sendiri lantaran telah didakwa melanggar hukum (tindak asusila).

Atas perbuatannya itu dan demi menjaga nama baik kerajaan Aceh, maka jasad Pocut kemudian dilarang dimakamkan dalam komplek pemakaman kerajaan Aceh. Setelah itu, seperti yang telah diprediksi, Pocut kemudian berlalu, sepi, tenggelam dan sunyi.

Oleh karena itu, jangan kaget kalau Sultan Iskandar Muda belum berhasil menjalankan program regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada pucuk kekuasaan eksekutif dari kalangan laki-laki yang akan menjadi Sultan Aceh berikutnya.

Lukisan Sultan Iskandar Muda (abulyatama.ac.id)
Lukisan Sultan Iskandar Muda (abulyatama.ac.id)

Akibatnya, terjadi pertentangan hebat dalam lingkungan istana Aceh, terutama menyangkut penetapan Sultan Aceh berikutnya pasca Iskandar Muda mangkat dari tampuk kekuasaan. Memang pertentangan itu sempat mereda setelah Iskandar Tsani, yang merupakan menantu Iskandar Muda berasal dari Malaysia, dinobatkan sebagai Sultan Aceh untuk menggantikan posisi ayah mertuanya. Akan tetapi, itu tidak bertahan lama karena Sultan Iskandar Tsani hanya mampu berkuasa selama 2 tahun.

Meski dikemudian hari, anak perempuan Sultan Iskandar Muda bernama Safiatuddin Taj' Alam berhasil menduduki tampuk kekuasaan Aceh setelah mendapat dukungan kuat, setidaknya dari dua ulama besar Aceh yaitu Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala.

Kedua ulama besar Aceh itulah yang melanggengkan 4 perempuan Aceh (termasuk Safiatuddin) sebagai Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Daruussalam nyaris selama 59 tahun lamanya secara berturut-turut pada abad ke 17 silam.

Gelar Sultanah merupakan sebuah gelar untuk merujuk pada pemimpin perempuan dalam pemerintahan muslim di Kerajaan Aceh Darussalam, sementara lak-laki mendapat gelar Sultan.

Dalam catatan sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, beberapa perempuan bergelar Sultanah yang pernah memegang tampuk kekuasaan dan memimpin Kerajaan Aceh Darussalam, sebut saja seperti Sultahan Safiatuddin (1641-1675), Sultanah Nur Alam Naqiyatuddin (1675-1678), Sultanah Inayat Syah Zakiyat (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Hadirnya 4 Sultanah Aceh ini, tidak terlepas dari keterlibatan kedua ulama besar Aceh itu dalam menghadirkan kepemimpinan perempuan di Aceh sebagai Sultanah. Sehingga kepemimpinan perempuan bukanlah hal yang baru di Aceh, meski saat ini kehadirannya masih hilang dan belum terbangun dari tidurnya yang panjang.

**

Bunga dan pepohonan yang indah rupawan berjejeran rapi, dan kesan sunyi soal Pocut Meurah Pupok saya dapatkan sekaligus saat memasuki kompleks kerkhof di Banda Aceh.

Ketika memasuki komplek perkuburan Belanda itu, hal pertama yang akan menyambut kita adalah pemandangan daftar nama-nama orang yang gugur di medan pertempuran saat perang Belanda di Aceh meletus. Nama-nama itu diabadikan pada tembok pintu masuk gerbang utama Kerkhof bak gaya Eropa itu.

Kerkhof dan Makam Mayor Jenderal Kohler
Kerkhof dan Makam Mayor Jenderal Kohler

Selanjutnya kita akan disambut oleh kuburan dan batu nisan yang bertuliskan nama Mayor Jenderal Kohler; panglima perang tertinggi Belanda. Setelah itu, kita akan disuguhkan oleh pemandangan ribuan simbol-simbol kuburan berbau Belanda, China, Kristen, dan Islam yang tersebar luas di dalam Kerkhof. Tak ayal, lebih dari 2.200 serdadu Belanda dikebumikan di Kerkhof.

Makam Serdadu Belanda di Kerkhof
Makam Serdadu Belanda di Kerkhof

Tentu saja, masih banyak hal lain yang dapat menggambarkan tentang Kerkhof. Jadi apabila suatu hari nanti Anda punya kesempatan untuk berkunjung ke Banda Aceh, cobalah datang ke Kerkhof, maka Anda akan mendapatkan gambaran seutuhnya tentang Kerkhof dan tidak terkecuali Pocut Meurah Pupok.

Kerkhof, meski telah dipercantik sedemikian rupa dan dimanjakan oleh pemandangan yang bagus, tetap saja Kerkhof sepi dan sunyi. Hal ini sangat kontras dengan Museum Tsunami Aceh, dimana setiap harinya para pengunjung membludak.

Padahal, Anda tahu, jarak antara Kerkhof dan Museum Tsunami hanya terpisah oleh beberapa meter saja, sangat berdekatan, dan bertetangga. 

Bahkan Kerkhof juga bisa disaksikan dan dilihat langsung dari dalam Museum Tsunami. Oleh karena itu, jangan kaget kalau Museum Tsunami Aceh jauh lebih ramai ketimbang Kerkhof yang begitu sepi dan sunyi dari pengunjung.

Museum Tsunami Aceh
Museum Tsunami Aceh

Saya berasumsi bahwa hal ini barangkali disebabkan karena memori kolektif masyarakat Aceh lebih dekat dengan peristiwa mega musibah Aceh bernama gempa dan tsunami, daripada memori tentang Pocut Meurah Pupok dan Kerkhof.

Inilah yang saya katakan tempo dulu, bahwa Pemerintah Aceh harus mampu mengubah image (wajah atau citra) Aceh baik dari dalam maupun luar Aceh, terutama kepada mereka yang bersemayam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagainya.

Sebab selama ini mereka hanya mengenal Aceh lewat 4 hal; GAM, Syariat Islam, ganja, dan tsunami. Itulah citra dan image Aceh dimata masyarakat diluar sana, sekalipun hal ini dapat diperdebatkan kembali.

Lepas dari hal itu, tetapi saya setuju, bahwa tugas mengubah citra Aceh tentu tidak mutlak harus diemban oleh Pemerintah Aceh saja. Tetapi juga harus menjadi tugas bersama bagi seluruh rakyat Aceh, termasuk juga saya selaku mahasiswa Pendidikan Sejarah yang kelak akan memiliki tugas untuk membongkar dan menghadirkan memori-memori Aceh lainnya melalui kajian (riset) sejarah dan budaya.

Sehingga orang-orang diluar sana dapat mengetahui dan memperoleh kelebihan informasi tentang Aceh, bahwa Aceh tidak hanya soal perang dan konflik, tetapi Aceh lebih dari itu.

Kesan sunyi tadi bukanlah semata-mata karena Kerkhof berisikan kuburan yang (dianggap) penuh dengan aura negatif. Tapi lebih dari itu, saat menikmati perkarangan Kerkhof, ada nuansa indah yang saya dapatkan di tengah padatnya simbol-simbol perkuburan.

Saya tak mendapatkan adanya aura negatif dalam komplek kuburan. Sekali lagi, kesan semacam ini bisa saja berbeda-beda setiap orangnya. Tergantung cara Anda menikmati.

Bersambung.

= = = = = = =

Solo, 15 Mei 2020.

*Chaerol Riezal, merupakan Mahasiswa Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta asal dari Aceh, Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun