Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aceh, Indonesia, dan Sejarah yang Tak Boleh Dilupakan

20 Maret 2019   17:37 Diperbarui: 4 Juli 2021   04:06 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang bangsa Portugis di tanah Jawa, Portugis berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1522 dengan membuat nota perjanjian kerjasama dengan kerajaan Padjajaran. 

Kesultanan Islam Demak yang melihat hal tersebut menganggap langkah Portugis itu sebagai sebuah ancaman. Akhirnya Fatahillah, sang panglima perang berdarah Aceh ini, ditugaskan untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa sekaligus merebut kota itu.

Tepat pada tanggal 22 Ramadan 933 H, atau bertepatan dengan 22 Juni 1527 M, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis. Keberhasilan Fatahillah merebut Sunda Kelapa kemudian disebut sebagai Fathan Mubina atau kemenangan yang nyata. Peristiwa ini dirayakan sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta dan nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.

Ratusan tahun kemudian, ketika Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya dan usianya republik baru seumur jangung, Aceh kembali menunjukkan keberpihakan dan kebaikannya kepada Indonesia. Itu terjadi dalam kurun waktu 1945-1948, dimana Indonesia harus menghadapi berbagai macam serangan dari Belanda dalam agresi militer 1 dan 2.

Demi mempertahankan marwah sekaligus kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh rela menyumbangkan pesawat terbang RI 001 jenis Dakota kepada pihak Indonesia yang ketika itu dilobi langsung oleh Soekarno. Lewat pesawat itulah, delegasi Indonesia berhasil menembus blokade Belanda dan memperoleh pengakuan kemerdekaan dari dunia internasional. Puncaknya adalah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949.

Pada tahun 1961, pembangunan Monumen Nasional (Monas) mulai dikerjakan dan pada 1975 Monas mulai dibuka untuk umum. Monas yang saat ini berdiri tegak di tengah-tengah lapangan Merdeka, Jakarta Pusat, telah menjadi ikon ibukota Indonesia dan dapat dikatakan sangat unik. Sebab, di puncak Monas tersebut terdapat bongkahan emas berbentuk kobaran api. Bongkahan emas tersebut ditafsirkan memiliki berat sekitar 38 kilogram.

Kendati demikian, sampai saat ini tidak banyak orang yang mengetahui tentang siapa sosok yang menyumbangkan emas di puncak Monas itu. Sosok penyumbang emas yang ada di puncak Monas itu adalah Teuku Markam, salah satu saudagar kaya dari Aceh. Teuku Markam inilah yang berjasa untuk emas di pucuk Monas itu yang melambangkan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang menyala-nyala, sekaligus melambangkan ikon dan mahkota ibukota Indonesia bernama Jakarta.

Belasan tahun kemudian, ketika Aceh dihantam oleh mega musibah bernama gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, Indonesia dibawah pimpinan SBY-JK hadir untuk membantu rakyat Aceh yang sedang ditimpa prahara. Bebergai bantuan makanan dan logistik lainnya, diterbangkan dari Jakarta ke Aceh.

Setahun berselang, atau tepat pada tanggal 15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) sepakat untuk mengakhiri konflik bersenjata yang sudah berkepanjangan. Kesepakatan itu dibuktikan dengan membubuhkan tanda tangan dari kedua pihak dalam nota perdamaian yang diberi nama MoU Helsinki. Dalam nota tersebut, Indonesia memberikan keistimewaan yang besar kepada Aceh.

Dengan adanya campur tangan dari orang Aceh dalam membangun Jakarta dan membantu Aceh ini, seharusnya ada sebuah ucapan terima kasih, baik itu dari Aceh sendiri dan juga dari pihak Indonesia, Jakarta. Lagi pula, jauh sebelum Soekarno dan Soeharto berkuasa, hubungan antara Aceh dan Indonesia baik-baik saja. Buktinya, Wali Songo hadir di tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam, ternyata ada yang berasal dari Aceh.

Namun memang semuanya berubah sejak zamannya Soekarno dan Soharto berkuasa. Sejarah ini, yang juga sebenarnya merupakan sebuah pengingat di kala hubungan Aceh dan Indonesia memanas sedemikian rupa, namun kerapkali terlupakan. Alasannya jelas: terkadang, perasaan marah dan kesal karena tertekan oleh sesuatu dapat mengaburkan sisi baik yang ada dari sesuatu tersebut. Ironis memang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun