Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Andai Aceh Punya Mahkamah Sejarah

11 Mei 2017   13:13 Diperbarui: 11 Mei 2017   19:05 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun saya tahu bahwa dalam sejarah, kami (mahasiswa sejarah) tidak dibolehkan untuk menggunakan kata “seandainya”, karena peristiwa sejarahnya telah terjadi dan tidak mungkin di andai-andaikan lagi. Namun, dalam tulisan ini ada opini lain yang ingin saya sampaikan dengan meminjam kata “sendainya” dan saya rasa itu tidak terlalu masalah.

Tentu saja, hal itu bukan untuk mengandaikan peristiwa sejarah yang telah terjadi, melainkan untuk menghadirkan romantisme sejarah yang telah berlalu itu. Karenanya, jika boleh menggunakan isitilah “seandainya,” maka istilah yang akan saya gunakan adalah “seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah.” Untuk apa? Untuk mengugat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tidak menghadirkan romantisme sejarahnya sendiri.

Jika seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah, sudah pastilah saya akan menggandengkan sejarawan muda, untuk kemudian saya jadikan sebagai pengacara dalam sidang di Mahkamah Sejarah. Adapun persoalan perkara yang akan kami layangkan dalam gugatan sejarah di Mahkamah Sejarah, adalah kira-kira begini:

“Tidak ada di dalam naskah” seolah membuat GAM sudah digariskan sejak awal bakal tidak akan membuat romantisme sejarahnya sendiri dalam bentuk-bentuk tertentu. Sementara yang saya tahu, di dalam tubuh GAM padahal dihuni oleh orang-orang yang paham akan sejarah dan tahu bagaimana cara menghadirkan kembali momen-momen tertentu dalam sejarah.

Selain itu, banyak juga tokoh-tokoh GAM membicarakan sejarah Aceh, entah itu tentang Sultan Iskadar Muda, Malahayati, Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan sebagainya. Peduli setan apakah apakah tokoh-tokoh GAM membicarakan sejarah Aceh atau tidak dituliskan sebagai pemenang dalam “naskah.”

Di sinilah menariknya. Istilah “tidak ada dalam naskah” dan istilah “tidak ada mahkamah sejarah” justru membuktikan bahwa memang tidak ada yang namanya “tidak ada dalam naskah” dan “mahkamah sejarah” itu di Aceh, kecuali dalam imajinasi penulis sendiri. Istilah tersebut justru muncul ketika GAM dan RI berdamai dan GAM mendapat peluang kembali mencatat sejarah dengan adanya MoU Helsinki.

mou-helsinki-5913ff390323bd0d3c3c84c2.jpg
mou-helsinki-5913ff390323bd0d3c3c84c2.jpg
Namun apa yang terjadi? GAM justru merobek-robek naskah sejarahnya sendiri dengan kejadian yang tidak disangka-sangka: GAM (belum) mengabadikan sejarahnya lewat bangunan sejarah (seperti museum, monumen dan wisata sejarah). Itulah alasannya mengapa saya katakan “seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah.”

Andai pun Aceh punya mahkamah sejarah, bayangkan betapa membosankannya sejarah ini. Bayangkan juga bagaimana orang-orang akan mengajukan gugatan terhadap sejarah yang ia anggap keliru, sengaja dibengkokkan dan penuh kontroversi. Lalu timbul pertanyaan besar: Apa gunanya metodoologi sejarah yang telah banyak mengalami penyempuranaan? Hanya benar-benar menjadi pelengkap saja.

Andai Aceh punya mahkamah sejarah, tentu itu bukan untuk menggugat sejarah melainkan untuk menggugat agar didirikan monumen dan wisata sejarah GAM. GAM yang sedang berkuasa di Aceh saat ini, kelak akan sulit untuk dikenang jika tidak meninggalkan jejak-jejak yang diminiaturkan berupa meseum, monumen dan wisata sejarah lainnya. Alih-alih dikenang sebagai perjuagan mutlak Aceh merdeka bernama GAM, bisa-bisa kita hanya mengenangnya sebagi sebuah nama saja dan tentu lewat buku sejarah.

Dan jika pun Aceh benar-benar punya mahkamah sejarah, sudah sepatutnya GAM mendirikan monumen sejarahnya dan mengatakan kepada dunia bahwa GAM memang layak untuk disejarahkan kepada generasi yang akan datang. Dengan berbagai limpahan kekuasaan di Aceh dan ditambah lagi keuangan yang banyak, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Aceh tidak punya anggaran untuk membangun monumen sejarah tersebut. Sementara yang saya tahu, Aceh pernah mengembalikan sisa uang ke Jakarta karena tidak mampu dihabiskan diakhir tahun anggaran. Fantastis kan?

Sudah tentu pula, Aceh bisa tidak usah mengembalikan uang ke Jakarta jika mampu mengatur ulang APBA dan sedikit memberikan ruang untuk membuat konsep wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Kalau Aceh menyadari betul, semestinya Pemerintah Aceh hari ini menjadi pahlawan dengan menghadirkan kembali romantisme sejarah masa silam. Sayangnya hal itu belum terwujud. Sayangnya juga Aceh tidak punya Mahkamah Sejarah untuk bisa saya gugat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun