Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dan ... Kau Pikir Kami Hanya Mempelajari Peristiwa Masa Lalu Saja?

2 Mei 2017   19:04 Diperbarui: 2 Mei 2017   19:37 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal*

Sejarah lebih penting dari sekadar persoalan hidup dan mati,” kata seorang teman sejarah saya pada suatu malam. Orang (mungkin) akan tertawa dan bahkan menertawakan ketika mendengar ucapan menggelikan yang keluar dari mulutnya itu. Seolah-olah ada yang aneh dan kelihatannya ada sebuah pembenaran akan kedangkalan proses berpikir dan rasa penting diri yang berlebihan.

Teman saya memang mengutarakannya dengan separuh bercanda, tetapi malam itu saya dan dia tidak sedang dalam keadaan bercanda. Rawut wajahnya pun mengisyaratkan demikan. Ketika ia menyampaikan ucapan itu, ia terlihat sangat serius. Bahkan saya juga sempat berpikir, apakah dia sedang tidak asal membuka mulut atau justru sebaliknya? Well, marilah kita berpikir apa yang ia utarakan itu.

Anda tentu sudah tahu, bahwa yang namanya persoalan hidup dan mati adalah sebuah kepastian. Atas nama makhluk hidup, apapun bentuknya, pasti akan merasakan kematian setelah ia menjalani kehidupan ini (batas umur). Sekali lagi, apapun yang hidup di dunia ini pasti akan mati. Tentu saja, itu adalah sebuah aturan di luar kehendak manusia. Tak ada ruang untuk bisa di tawar menawar, layaknya pembeli dan penjual ketika bertemu dipasar dalam bernegosiasi suatu barang. Tak ada yang bisa dilakukan oleh manusia kecuali menjalaninya, menyerah dan tunduk. Untuk alasan inilah, maka urusan hidup dan mati adalah rahasia Tuhan. Bukankah kita telah dicukupkan dengan diberikan petunjuk (kitab suci) untuk menjalani kehidupan dan mempertanggung jawabkan atas segala yang dilakukan selama hidup di dunia? Di titik ini, bagi teman saya, hidup dan mati karenanya menjadi tak penting lagi. Sebuah keniscayaan tidak penting lagi untuk dipikirkan, kecuali bagi orang yang menyiakan kehidupan ini.

Sejarah memang berbeda. Ia (sejarah), meskipun dapat memberi ruang kepada manusia untuk membuat kejahatan (pembodohan ingatan), sejarah juga dapat melakukan perbaikan, bijaksana, waspada, dan menghindari kesalahan yang sama. Bahkan ia (sejarah) juga dapat memberi kesempatan bagi kita untuk menang dan berada di puncak. Tetapi itu tidak mudah.

Sejarah berubah dari sebuah hinaan yang dulunya dipandang sebelah mata oleh para sosiolog menjadi sebuah makanan empuk yang secara ramai-ramai digarap oleh sebagian besar cabang ilmu, termasuk sosiologi. Betapa sejarah menjadi primadona bagi setiap disiplin ilmu lainnya. Bahkan saya sebagai mahasiswa sejarah turut berbangga diri dengan ilmu sejarah karena ia memiliki metodologi sejarah tersendiri.


Meskipun dalam sejarah masih terdapat sebuah permainan yang penuh dengan paradoks-kontradiksi, tetapi walau bagaimana pun penulisan sejarah (historiogtafi) tidak pernah objektif tapi subyektif. Karena itu adalah buah pikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk kata-kata (buku), setelah melakukan penelitian dan tentu saja berdasarkan fakta-fakta (dokumen atau data) yang diperoleh. Itulah sebabnya, mengapa sejarah tidak pernah final dan tidak pernah mengharamkan bagi siapapun yang ingin mengungkapkan sebuah peristiwa di masa lalu. Peristiwa G30 S/PKI menjadi bukti terdekat. Bagaimana seseorang terus mencari kebenaran dalam mengungkap peristwa itu dengan mengeluarkan banyak buku sejarah. Tetapi, pada saat bersamaan, sejarah juga banyak dilarang untuk diungkapkan ke publik, termasuk banyak pula yang telah dilarang dalam kurikulum.

Menjadi mahasiswa sejarah sebenarnya adalah sebuah perjuangan yang tidak hanya untuk memahami diri sendiri, tetapi juga sebuah perjuangan untuk memahami bangsa dan negara Indonesia, bahkan dunia internasional sekalipun. Kami harus selalu terus menerus menjaga tiga ambang keseimbangan dalam diri mahasiswa sejarah (masa lalu, masa kini, dan masa depan). Kami harus abai dengan berbagai terpaan provokasi, mengelola frustasi dan emosi serta waspada ketika bergembira. Dan yang lebih penting, kami harus mampu melepaskan kepentingan pribadi untuk sebuah tujuan kolektif dalam penulisan sejarah (historiografi) dan mencerahkan masyarakat melalui sejarah.

Dari sini ucapan teman saya itu kemudian bisa dimengerti. Ia sadar, bahwa yang namanya mahasiswa sejarah itu bukanlah sekumpulan santo-- orang suci. Mereka seperti Anda dan saya, hanya kualitas orang biasa yang menjadi pembeda. Kadang ia bisa menjaga diri dan kadang bisa lepas emosi saat menulis sejarah, mencoba jujur dan tergoda curang, dan selalu rentan dengan godaan (baik digoda diri sendiri maupun oleh penguasa atau bahkan penguasa memainkan peranannya).

Tetapi, justru disinilah sejarah menjadi menarik dan tidak menarik. Lahan sejarah menjadi podium dimana para penguasa negeri melakukan khutbah dan pidato dengan mengangkat berbagai tema sejarah. Baik dan buruk selalu mereka kumandangkan. Sementara disisi lain, mereka tak pernah benar-benar berperilaku dan memimpin negara seperti isi khutbah dan pidato sejarah yang ia dengungkan.

Saya melihat bahwa mereka sedang menggelar sebuah pertunjukkan yang tidak bisa ditebak alur cerita dan hasilnya. Kata mereka, sejarah adalah cerminan bagi kehidupan keseharian kita untuk berbagai aspek sosial.

Karenanya, kita terperangahlah dan tidak setuju atau bahkan mengutuk ketika pemerintah dengan seenak hatinya tidak memasukkan sejarah lokal dibeberapa daerah dalam kurikulum. Itu sebuah perangai buruk. Sebuah tindakan yang melanggar aturan dan undang-undang yang berlaku. Gambaran mereka yang tergoda kegelapan.

Namun kita pun juga khawatir, jangan-jangan tindakan mereka mewakili apa yang ada di benak kita semua ketika menghadapi kesulitan. Lalu kita membuka khazanah kebijakan hidup yang kita punya untuk mencoba menjelaskan dan atau mengatasi persoalan mereka ini. Itu semua tersaji dalam sejarah.

Para pemangku kekuasaan di negeri ini sibuk memilah-milah sejarah mana yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Para pengamat juga sibuk mencari-cari jawaban dengan berbicara tentang sejarah, budaya, adat dan kajian ilmiah dan non-ilmiah lainnya. Mereka juga saling berdebat tentang sejarah yang dianggap kontroversi dan pelurusan sejarah, sementara mereka lupa bahwa dalam sejarah itu ada yang namanya kritik sumber, intepretasi dan puncaknya historiografi atau dengan kata lain meotodologi sejarah. Karenanya, sejarah itu tidak pernah final, kecuali umat manusia sudah tidak menghuni dunia ini lagi (kiamat). Karenanya lagi, setiap zaman itu memiliki sejarah dan penulisan sejarahnya. Tetapi mereka saling berdebat dengan segala argumennya yang entah berdasar atau entah tidak.

Sementara kami, mahasiswa sejarah, tidak pernah dilibatkan dalam proses pemilihan sejarah yang akan dimasukkan ke dalam alat pendidikan itu. Mereka beranggapan, bahwa tugas kami semata-mata hanyalah untuk mempelajari peristiwa masa lalu saja, kunjungan ke situs sejarah dan duduk di perpustakaan. Disini dengan tegas, kami katakan bahwa kami ini tidak hanya memperlajari sejarah belaka, tetapi lebih dari itu.

Kalaulah boleh mengutip ucapan Fida Indra Fauziyyah, salah seorang mahasiswi Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, kira-kira ia mengatakan seperti ini: “Yang namanya sejarah itu adalah peristiwa masa lalu yang berkaitan erat hubungannya dengan aktivitas manusia, dan yang dipelajari memang bagaimana kita (mahasiswa sejarah) merekonstruksi masa lalu tersebut. Namun, tidak berhenti di masa lalu saja. Sejarah justru bisa digunakan untuk membangun masa depan, karena pola sejarah akan selalu berulang, bukan peristiwanya yang berulang, namun polanya. Misalnya Indonesia pada abad ke 19 muncul pemodal-pemodal besar yang menanamkan sahamnya, kemudian di zaman sekarang pun muncul lagi pemodal-pemodal besar. Dengan kita mempelajari masa lampau, kita bisa menjadi bijak karena pola sejarah yang berulang, misalnya dalam mengambil suatu kebijakan ekonomi, kita harus belajar mengenai sejarah penanaman modal asing,” sebutnya.

“Sejarah juga berguna untuk pelajaran dan perubahan. Misalnya, sejak masa kecil Alfatih suka belajar sejarah tentang penaklukkan Konstantinopel dari para pendahulunya yang gagal, dan dari kegagalan para pendahulunya itu Alfatih bisa mengambil startegi terbaik untuk penaklukkan. Sehingga pada 1453 beliau berhasil menaklukkan Konstantinopel. Contoh lainnya adalah Jepang. Jepang bisa maju karena ilmu pengetahuannya akibat Restorasi Meiji. Jadi kalau kita ingin maju bisa mengambil contoh (pelajaran sejarah) dari Jepang,” sebutnya.

Fida kemudian melanjutkan, “Sejarah sebenarnya mempunyai kegunaan yang banyak. Para ahli sejarawan juga telah banyak mengemukakan hal tersebut. Dalam konteks pendidikan, sejarah juga bisa dipelajari dan diajarkan mengenai peristiwa masa lampau. Namun kita punya kewajiban lain, yaitu bagaimana kita bisa mengambil makna dari berbagai peristiwa masa lampau tersebut untuk diajarkan kepada siswa, sehingga fungsi sejarah bisa untuk pendidikan moral,” tutup Fida ketika menjawab sebuah pertanyaan klasik.

Ucapan Fida diatas menunjukkan bahwa kami tidak hanya mempelajari peristiwa masa lalu saja. Tetapi kami juga mencoba menjaga tiga ambang kesimbangan; masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Peristiwa masa lalu yang kami pelajari, jelas untuk masa kini dan masa yang akan datang tetapi bukan untuk meramal. Namun, pada saat bersaman muncul pula sebuah pertanyaan besar: Sejauh mana sejarah memberikan sumbangan besar terhadap negara dan mencerahkan masyarakatnya? Tentu saja ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

Tetapi, sadarkah kita bahwa selanjutnya kita tidak lagi berbicara dan membicarakan tentang peristiwa masa lalu? Ingatkah kita bahwa inilah yang kemungkinan disebut oleh teman saya bahwa sejarah lebih penting dari hidup dan mati? Bahwa sejarah mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang selalu cair, bergerak dan membutuhkan penafsiran.

Ya, orang (mungkin) akan tertawa dan menertawakan teman saya ketika ia mengutarakan kalimatnya tersebut. Apalah seorang teman saya itu? Ia hanyalah seorang mahasiswa sejarah yang sedang berjuang untuk mendapatkan gelar akademik. Orang (mungkin) juga akan setuju atau tidak setuju tentang ucapan Fida diatas, bahwa sejarah memiliki banyak kegunaan.

Berbeda ketika seorang Kopral yang kemudian menjadi seorang Kaisar di Perancis, entah secara bercanda, serius atau putus asa, ia sempat mengatakan, “Sejarah adalah sebuah mitos yang diyakini kebenarannya oleh umat manusia,” kata Napoleon Bonaparte. Orang pun mengangguk-angguk kepala ketika menyimak ucapan tersebut.

Menjengkelkan dunia ini? Memang. Kita terlalu sering mengukur bobot kata berdasarkan siapa yang mengucapkan. Bukan berdasarkan kata-katanya sendiri. Tetapi tak apalah. Simak saja kata teman saya dan belajarlah pada Napoleon Bonaparte serta ucapan Fida Indra Fauziyyah. Setidaknya mengenai sejarah, bahwa kami (mahasiswa sejarah) tidak hanya untuk mempelajari peristiwa masa lalu saja.

= = = = = = =

Senin, 1 Mei 2017

**Chaerol Riezal (Penulis) adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah asal Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun